Upaya Meningkatkan Disiplin Guru dalam Kehadiran Mengajar Di Kelas Melalui penerapan Reward and Punishment di SMP Negeri 2
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usaha
meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, untuk
mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, di mana
pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, kecerdasan, dan ketrampilan.
Untuk
melaksanakan tugas dalam meningkatkan mutu pendidikan maka diadakan proses
belajar mengajar, guru merupakan figur sentral, di tangan gurulah terletak
kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar di
sekolah. Oleh karena itu tugas dan peran guru bukan saja mendidik, mengajar dan
melatih tetapi juga bagaimana guru dapat membaca situasi kelas dan kondisi dan
kondisi siswanya dalam menerima pelajaran.
Untuk
meningkatkan peranan guru dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar
siswa, maka guru diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif
dan akan mampu mengelola kelas. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik dan mengevaluasi peserta didik, pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sementara
pegawai dunia pendidikan merupakan bagian dari tenaga kependidikan, yaitu
anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang
penyelenggaraan pendidikan. Dalam informasi tentang wawasan Wiyatamandala,
kedisiplinan guru diartikan sebagai sikap mental yang mengandung kerelaan
mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan
tugas dan tangung jawab.
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan, kedisiplinan guru dan pegawai adalah sikap
penuh kerelaan dalam mematuhi semua aturan dan norma yang ada dalam menjalankan
tugasnya sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak didiknya.
Karena bagaimana pun seorang guru atau tenaga kependidikan (pegawai), merupakan
cermin bagi anak didiknya dalam sikap atau teladan, dan sikap disiplin guru dan
tenaga kependidikan (pegawai) akan memberikan warna terhadap hasil pendidikan
yang jauh lebih baik.
Keberhasilan
proses pembelajaran sangat bergantung pada beberapa factor diantaranya adalah
faktor guru. Guru sangat memegang peranan penting dalam keberhasilan proses
pembelajaran. Guru yang mempunyai kompetensi yang baik tentunya akan sangat
mendukung keberhasilan proses pembelajaran.
Peranan
guru selain sebagai seorang pengajar, guru juga berperan sebagai seorang
pendidik. Pendidik adalah seiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang
lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Sehinggga sebagai
pendidik, seorang guru harus memiliki kesadaran atau merasa mempunyai tugas dan
kewajiban untuk mendidik. Tugas mendidik adalah tugas yang amat mulia atas
dasar “panggilan” yang teramat suci. Sebagai komponen sentral dalam sistem
pendidikan, pendidik mempunyai peran utama dalam membangun fondamen-fondamen
hari depan corak kemanusiaan. Corak kemanusiaan yang dibangun dalam rangka
pembangunan nasional kita adalah “manusia Indonesia seutuhnya”, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya diri disiplin,
bermoral dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan hal itu, keteladanan dari
seorang guru sebagai pendidik sangat dibutuhkan.
Keteladanan
guru dapat dilihat dari prilaku guru sehari-hari baik didalam sekolah maupun
diluar sekolah. Selain keteladanan guru, kedisiplinan guru juga menjadi salah
satu hal penting yang harus dimiliki oleh guru sebagai seorang pengajar dan
pendidik.
Fakta
dilapangan yang sering kita jumpai di sekolah adalah kurang disiplinnya guru,
terutama masalah disiplin guru masuk kedalam kelas pada saat kegiatan
pembelajaran dikelas.
Berdasarkan
uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan sekolah
dengan judul : “Upaya Meningkatkan Disiplin Guru dalam Kehadiran Mengajar
Di Kelas Melalui penerapan Reward and Punishment di SMP Negeri 2 ”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : ”Apakah penerapan Reward and
Punishment dapat meningkatkan kedisiplinan guru dalam kehadiran mengajar di
kelas?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah ingin mencari alternatif pemecahan masalah sebagai
upaya meningkatkan disiplin guru dalam kehadiran mengajar di kelas melalui
penerapan Reward and Punishment.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat :
1.
Bagi kepala sekolah adalah merupakan wujud nyata kepala sekolah dalam
memecahkan berbagai masalah disekolah melalui kegiatan penelitian.
2.
Bagi guru diharapkan dapat menjadi motivasi guru dalam meningkatkan
kedisiplinan dalam kehadiran.
3.
Bagi sekolah bisa dijadikan sumbangan dalam mewujudkan budaya sekolah yang
dapat mendorong keberhasilan dan peningkatan mutu pembelajaran.
BAB
II
KAJIAN
TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
B. Kajian Teori
Di
masa lalu, kepala sekolah yang berperan sebagai manajer yang efektif telah
dianggap cukup. Di masa itu, kebanyakan kepala sekolah diharapkan mentaati
ketentuan dan kebijakan Dinas Pendidikan, mengatasi isu-isu ketenagaan,
pengadaan fasilitas dan infrastruktur, menyesuaikan anggaran, memelihara agar
gedung sekolah nyaman dan aman, memelihara hubungan dengan masyarakat,
memastikan kantin sekolah dan UKS berjalan lancar. Semua ini masih tetap harus
dilakukan oleh kepala sekolah. Akan tetapi, sekarang kepala sekolah harus
melakukan hal yang lebih dari semua itu.
Berbagai
penelitian menunjukkan peran kunci yang dapat dilakukan kepala sekolah agar
dapat meningkatkan belajar dan pembelajaran, jelas bahwa kepala sekolah harus
berperan sebagai leaders for learning (The Institute for Educational
Leadership, 2000). Para kepala sekolah harus mengetahui isi pelajaran
dan teknikteknik pedagogis. Para kepala sekolah harus bekerja bersama guru
untuk meningkatkan keterampilan. Kepala sekolah harus mengumpulkan,
menganalisis, dan menggunakan data dengan cara-cara yang menumbuhkan
keunggulan. Mereka harus berkumpul siswa, guru, orang tua,
organisasi-organisasi layanan sosial dan kesehatan.
Organisasi
kepemudaan, dunia usaha, warga sekitar sekolah untuk meningkatkan kinerja
siswa. Selanjutnya para kepala sekolah itu juga harus memiliki keterampilan dan
pengetahuan kepemimpinan dalam rangka memanfaatkan kewenangannya untuk mencari
strategi-strategi yang diperlukan. Mereka seharusnya melakukan itu semua, akan
tetapi sayang, sering dijumpai bahwa mereka tidak melakukannya. Meskipun
masyarakat pada umumnya memberi sorotan kepada kepala sekolah ketika hasil
Ujian Nasional siswa diumumkan dan mengajukan usul untuk memberi sanksi apabila
sekolah tidak menunjukkan hasil sebagaimana diharapkan, para kepala sekolah di
masa lalu tidak banyak melalukan persiapan atau melakukan pengembangan
keprofesionalan berkelanjutan untuk membekali diri dalam rangka melaksanakan
peran baru tersebut. Pihak pemerintah daerah, atau dinas pendidikan, selama ini
juga lebih banyak mendorong kepala sekolah untuk sekedar mentaati peraturan
yang ada, berusaha untuk mengelola tuntutan menjalankan kepala sekolah yang
berlipat ganda di era meningkatnya harapan, kebutuhan siswa yang kompleks,
akuntabilitas yang terus meningkat, peningkatan keberagaman, dan sabagainya.
Tidak ada alternatif lain, masyarakat di seluruh negeri ini harus “reinvent
the principalship” untuk memampukan para kepala sekolah dalam menghadapi
tantangan abad 21, dan untuk menjamin para pemimpin bagi belajar siswa yang
dibutuhkan untuk membimbing agar sekolah dan siswanya yang dipimpinnya mencapai
keberhasilan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan kebudayaan dan
meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan pendidikan
ini dapat mengubah dan mengembangkan suatu pengetahuan. Pendidikan bukan hanya
menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, namun harus dapat meramalkan
berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus
menemukan cara yang tepat dan cepat dikuasai oleh anak
didik.(Budiningsih,2005).
Kemampuan
dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai tingkat pendidikan yang
diikutinya. Semakin tinggi pendidikan, maka di asumsikan semakin tinggi pula
tingkat pengetahuan. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat
meningkatkan kesejahteraan, karena seseorang yang berpendidikan atau memiliki
pendidikan tersebut dapat terhindar dari kebodohan dan juga kemiskinan.
Dapat
ditegaskan fungsi pendidikan adalah membimbing anak didik ke arah suatu tujuan
yang kita nilai tinggi. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa
anak didik kepada tujuan itu (Sagala, 2003). Pada kegiatan belajar mengajar
tenaga kependidikan (guru) merupakan suatu komponen yang penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik adalah seseorang atau
sekelompok orang yang berprofesi mengelola kegiatan belajar mengajar, serta
seperangkat lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar
lebih efektif. Berdasarkan atas tugas mengajarnya, maka dia harus mempunyai
wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Kedudukan
guru dipahami demikian penting sebagai ujung tombak dalam pembelajaran dan pencapaian
mutu hasil belajar peserta didik (Sagala, 2003).
Keberhasilan
siswa dalam pembelajaran serta peningkatan mutu sekolah tidak hanya menjadi
tanggung jawab kepala sekolah saja, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama
antara, guru, orang tua atau masyarakat serta pemerintah. Dalam bidang
pendidikan, yang dimaksud dengan mutu memiliki pengertian sesuai dengan makna
yang terkandung dalam siklus pembelajaran. Secara ringkas dapat disebutkan
beberapa kata kunci pengertian mutu, yaitu: sesuai standar (fitness to
standard), sesuai penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use),
sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent requirements), dan
sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements).
Adapun yang dimaksud mutu sesuai dengan standar, yaitu jika salah satu aspek
dalam pengelolaan pendidikan itu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Garvin seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang dapat
digunakan untuk menganalisis karakteristik suatu mutu, yaitu: (1) kinerja (performance),
(2) feature, (3) kehandalan (reliability), (4) konfirmasi (conformance),
(5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7)
estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang
bersifat subjektif. Dalam pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu
sekolah atau keunggulan sekolah dapat dilihat dari ukuran fisik sekolah,
seperti gedung dan jumlah ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat
yang berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan
sekolah tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk dapat
memahami kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat
pendidikan formal di sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem
tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses yang
berlangsung hingga membuahkan hasil.
Kinerja
guru menjadi salah satu unsur dalam upaya peningkatan mutu sekolah. Kinerja
guru meliputi kedisiplinan guru dan etos kerja. Apabila kedisiplinan telah menjadi
budaya sekolah, maka arah pencapaian peningkatan mutu sekolah akan tercapai.
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau
falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen
sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan
di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil
sekolah.
Budaya
sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang
diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai
perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang
sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru,
staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
(Akhmad Sudrajat, 2010).
Beberapa
manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya :
(1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan
komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertical maupun
horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan
rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa
kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan
(6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa
manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah : (1)
meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat;
(4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu
ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu
ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri
sendiri.
Upaya
pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut
ini.
1. Berfokus
pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya
sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi
visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah.
Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program
yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
2. Penciptaan
Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan
dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan
pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan
komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu
digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
3. Inovatif
dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi
budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap
perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima
khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya
seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
4. Memiliki
Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu
ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh
sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan.
Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
5. Berorientasi
Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada
sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan
mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
6. Sistem
Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan
budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka
pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi
terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan
mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
7. Memiliki
Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga
sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya
sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari
pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
8. Keputusan
Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif
adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan
keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan,
namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi
dalam melaksanakan keputusan tersebut.
9. Sistem
Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya
disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau
uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa
yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya
sekolah.
10. Evaluasi
Diri.
Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang
dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat
mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya
sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya
sekolah.
Selain
mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga
seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini:
1. Kerjasama
tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah
merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan
aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya
yang dimilki oleh personil sekolah.
2. Kemampuan.
Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat
kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru
bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan
bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
3. Keinginan.
Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan
tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua
nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan.
Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah,
guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
4. Kegembiraan
(happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki
oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan
berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan
perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah.
Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa
yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan
baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
5. Hormat
(respect). Rasa hormat merupakan nilai yang
memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah
maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang
terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar
akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan
cara member senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga
dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan
penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang
secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan
sebagaianya.
6. Jujur (honesty). Nilai kejujuran
merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran
pada diri sendiri maupun kejujuran kepadaorang lain. Nilai kejujuran tidak
terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup
cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran,
kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap
situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam
memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan
waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat
dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.
7. Disiplin
(discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk
ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah.
Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin
yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi
serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi
disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena
peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata
tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin
untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan
sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di
sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru
dan staf.
8. Empati
(empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan
diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut
larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil
sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat
memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu
menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati
warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi
oleh perasaan yang saling memahami.
9. Pengetahuan
dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para
personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan
dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi
ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan
terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang
tua dan masyarakat. Penerapan budaya sekolah termasuk penerapan disiplin semua
warga sekolah dapat terwujud apabila semua warga sekolah mempunyai komitmen
yang kuat untuk mewujudkannya.
Penerapan
disiplin warga sekolah, khususnya disiplin guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar sangat berkit kepada kinerja guru itu sendiri. Kinerja atau prestasi
kerja guru dalam mengemban tugas keprofesionalan seperti mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi merupakan aspek
utama dalam meningkatkan kecerdasan siswa yang membawa pada peningkatan mutu
pendidikan yang diselenggarakan. Kinerja diartikan sebagai tingkat atau derajat
pelaksanaan tugas seseorang atas dasar kompetensi yang dimilikinya. Istilah
kinerja tidak dapat dipisahkan dengan bekerja karena kinerja merupakan hasil
dari proses bekerja. Dalam konteks tersebut maka kinerja adalah hasil kerja
dalam mencapai suatu tujuan atau persyaratan pekerjaan yang telah ditetapkan.
Kinerja dapat dimaknai sebagai ekspresi potensi seseorang berupa perilaku atau
cara seseorang dalam melaksanakan tugas, sehingga menghasilkan suatu produk
(hasil kerja) yang merupakan wujud dari semua tugas serta tanggung jawab
pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Apabila
disiplin guru telah dilaksanakan dengan baik dan kinerja guru juga baik, serta
didukung oleh faktor-faktor lain yang mendukung maka akan tercipta kondisi
sekolah yang kondusif yang pada akhirnya tujuan sekolah untuk menjadi sekolah
yang bermutu akan dapat tercapai Disiplin adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku. Adapun arti kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela
menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Sedangkan
arti kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang
sesuai dengan peraturan perusahaan baik yang tertulis maupun tidak (Hasibuan
,1997:212).
Menurut Davis disiplin kerja dapat diartikan sebagai
pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi
(Mangkunegara, 2000 : 129). Disiplin pada hakikatnya adalah kemampuan untuk
mengendalikan diri dalam bentuk tidak melakukan sesuatu tindakan yang tidak
sesuai dan bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan dan melakukan
sesuatu yang mendukung dan melindungi sesuatu yang telah ditetapkan. Dalam
kehidupan sehari-hari dikenal dengan disiplin diri, disiplin belajar dan
disiplin kerja. Disiplin kerja merupakan kemampuan seseorang untuk secara
teratur, tekun secara terus-menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Pada
dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisplinan karyawan suatu
organisasi di antaranya ialah : (1) tujuan dan kemampuan, (2) teladan pimpinan,
(3) balas jasa (gaji dan kesejahteraan), (4) keadilan, (5) waskat (pengawasan
melekat), (6) sanksi hukuman, (7) ketegasan, dan (8) hubungan kemanusiaan
(Hasibuan, 1997:213).
Disiplin
juga merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia yang penting dan
merupakan kunci terwujudnya tujuan, karena tanpa adanya disiplin maka sulit
mewujudkan tujuan yang maksimal (Sedarmayanti, 221:10).
Heidjrachman
dan Husnan, (2002: 15) mengungkapkan “Disiplin adalah setiap perseorangan dan
juga kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah” dan
berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan seandainya tidak
ada perintah”. Menurut Davis (2002: 112) “Disiplin adalah tindakan manajemen
untuk memberikan semangat kepada pelaksanaan standar organisasi, ini adalah
pelatihan yang mengarah pada upaya membenarkan dan melibatkan
pengetahuan-pengetahuan sikap dan perilaku pegawai sehingga ada kemauan pada
diri pegawai untuk menuju pada kerjasama dan prestasi yang lebih baik”.
Disiplin
itu sendiri diartikan sebagai kesediaan seseorang yang timbul dengan kesadaran
sendiri untuk mengikuti peraturan-peratuan yang berlaku dalam organisasi. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil telah diatur secara jelas bahwa kewajiban yang harus ditaati oleh
setiap pegawai negeri sipil merupakan bentuk disiplin yang ditanamkan kepada
setiap pegawai negeri sipil. Menurut Handoko (2001: 208) disiplin adalah
kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Ada dua
tipe kegiatan pendisiplinan yaitu preventif dan korektif. Dalam pelaksanaan
disiplin, untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka pemimpin dalam
usahanya perlu menggunakan pedoman tertentu sebagai landasan pelaksanaan.
Menurut
Nitisemito (1986:199) menyatakan masalah kedisiplinan kerja, merupakan masalah
yang perlu diperhatikan, sebab dengan adanya kedisiplinan, dapat mempengaruhi
efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan menurut
Greenberg dan Baron (1993:104) memandang disiplin melalui adanya hukuman.
Disiplin kerja, pada dasarnya dapat diartikan sebagai bentuk ketaatan dari
perilaku seseorang dalam mematuhi ketentuan-ketentuan ataupun
peraturan-peraturan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan, dan diberlakukan dalam
suatu organisasi atau perusahaan (Subekti D., 1995). Dilihat dari sisi
manajemen, terjadinya disiplin kerja itu akan melibatkan dua kegiatan
pendisiplinan :
1. Preventif,
pada pokoknya, dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendorong disiplin diri di
antara para karyawan, agar mengikuti berbagai standar atau aturan. Sehingga
penyelewengan kerja dapat dicegah.
2. Korektif,
kegiatan yang ditujukan untuk menangani pelanggaran terhadap aturan dan mencoba
untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut (Heldjrachman dkk,
1990).
Perlu
disadari bahwa untuk menciptakan disiplin kerja dalam organisasi/perusahaan
dibutuhkan adanya :
a.
Tata tertib/ peraturan yang jelas.
b. Penjabaran
tugas dari wewenang yang cukup jelas.
c.
Tata kerja yang sederhana, dan mudah
diketahui oleh setiap anggota dalam organisasi.
Menurut
Byars and Rue (1995:357) menyatakan ada beberapa hal yang dapat dipakai,
sebagai indikasi tinggi rendahnya kedisplinan kerja karyawan, yaitu : Ketepatan
waktu, kepatuhan terhadap atasan, peraturan terhadap perilaku terlarang,
ketertiban terhadap peraturan yang berhubungan langsung dengan produktivitas
kerja. Sedangkan De Cenzo dan Robbins (1994:451) mengemukakan tipe permasalahan
dalam kedisiplinan, antara lain : kehadiran, perilaku dalam bekerja (dalam
lingkungan kerja), ketidakjujuran, aktivitas di luar lingkungan kerja.
Melalui
disiplin pula timbul keinginan dan kesadaran untuk menaati peraturan organisasi
dan norma sosial. Namun tetap pengawasan terhadap pelaksanaan disiplin tersebut
perlu dilakukan. Disiplin kerja adalah persepsi guru terhadap sikap pribadi
guru dalam hal ketertiban dan keteraturan diri yang dimiliki oleh guru dalam
bekerja di sekolah tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan dirinya,
orang lain, atau lingkungannya. Dalam upaya penerapan kedisiplinan guru pada
kehadiran dikelas dalam kegiatan belajar mengajar, bisa ditempuh dengan
beberapa upaya. Adapun upaya dalam meningkatkan disiplin guru adalah sebagai
berikut: (a) sekolah memiliki system pengendalian ketertiban yang dikelola dengan
baik, (b) adanya keteladanan disiplin dalam sikap dan prilaku dimulai dari
pimpinan sekolah, (c) mewajibkan guru untuk mengisi agenda kelas dan mengisi
buku absen yang diedarkan oleh petugas piket, (d) pada awal masuk sekolah
kepala sekolah bersama guru membuat kesepakatan tentang aturan kedisiplinan,
(e) memperkecil kesempatan guru untuk ijin meninggalkan kelas, dan (f) setiap
rapat pembinaan diumumkan frekuensi pelanggaran terendah. Dengan strategi
tersebut diatas kultur disiplin guru dalam kegiatan pembelajaran bisa
terpelihara dengan baik, suasana lingkungan belajar aman dan terkendali
sehingga siswa bisa mencapai prestasi belajar yang optimal.
Sekolah
yang menegakkan disiplin akan menjadi sekolah yang berkualitas, baik dari segi
apapun juga, benarkah itu? Ini adalah bahasan sekilas dari satu sisi namun
justru sangat primer (proses belajar-mengajar saja), tapi ini banyak terjadi di
beberapa sekolah. Konon bagaimanapun atau apapun model dan kualitas inputnya
semua akan menjadi berkualitas, semua bisa dilakukan lewat disiplin. Mungkin
ada benarnya. Setidaknya membuat lingkungan sekolah berdisiplin, terutama
disiplin dalam belajar dan proses mengajar. Setidaknya pengkondisian dalam soal
disiplin akan membuat image tersendiri di lingkungan sekitar tentang kondisi
sekolah.
Disiplin
di sini diartikan ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum
disiplin diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar
realistik menuju suatu titik, yaitu kualitas tadi. Lalu mengapa banyak sekolah
yang mutunya rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal
sekolah. Jawabanya mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga
tidak mudah diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu.
Dalam hal ini kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang gurupun tidak tahu
apa yang harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya
terkesan menghabiskan waktu mengajar saja. Banyak hal yang harus ditangani
dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu berat mungkin bisa
saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar saja. Selama ini
yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong saat jam
belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas yang harus
dikerjakan siswa. Ketidak masukan guru itu bisa saja karena kepentingan dinas
atau yang lain.
Ketidak
tepatan dalam hal guru masuk kelas sehingga jeda waktu pergantianjam bisa
dimanfaatkan siswa untuk melakukan tindakan indisipliner. Komitmen guru dalam
hal ini kadang sering menjadi penyebabnya. Dalam manajemen sekolah, biasanya
pengawasan banyak yang tidak bisa berjalan dengan baik, lebih-lebih jika
komitmen guru dan siswa rendah maka sekolah-pun akhirnya sulit majunya.
Penerapan
disiplin dapat ditegakan melalui pemberian reward and punishment. Reward
dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk
melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya.
Kedua
metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dalam dunia
kerja, dalam dunia penidikan pun kedua ini kerap kali digunakan. Namun selalu
terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward
dengan punishment?
Reward
artinya
ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan
salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa
meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia,
senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik
secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang
menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang
telah dapat dicapainya. Sementara punishment diartikan sebagai hukuman
atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang
positif, maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang
negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat
motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada
seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang
dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke
arah yang lebih baik.
Pada
dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk
dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan
reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah
ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk
perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi
pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk
dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
Reward
dan punishment dikenal sebagai ganjaran, merupakan dua
metode yang lazim diterapkan di sebuah organisasi, instansi, atau perusahaan
yang menargetkan adanya produktivitas kerja yang tinggi dari para karyawannya.
Menurut Amaryllia, konsultan manajemen dan strategi dari Sien Consultan, dalam
sejarahnya, reward dan punishment kali pertama banyak diterapkan di bidang
penjualan (sales). Namun, kini metode tersebut banyak diadopsi oleh organisasi,
perusahaan yang bergerak di pelbagi bidang, bahkan dunia pendidikan.
Penerapan
reward dan punishment dalam dunia pendidikan dapat diterapkan sepanjang hal tersebut
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Penerapan reward dan
punishment juga tidak hanya diterapkan kepada siswa yang berprestasi atau yang
melanggar tata-tertib, tetapi juga dapat diterapkan kepada guru-guru agar
mereka berdisiplin dalam mengajar untuk memenuhi tugas mereka memberikan
pelajaran kepada siswanya.
Reward
dan
punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk
melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup
lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dalam dunia kerja, dalam dunia
penidikan pun kedua ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan
pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dengan punishment?
Reward
artinya
ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward
merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini
bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan
bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan
yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar
seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan
prestasi yang telah dapat dicapainya.
Sementara
punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan
bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement
yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat
motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada
seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang
dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke
arah yang lebih baik.
Pada
dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk
dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan
reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah
ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk
perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi
pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk
dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
Dalam
proses penataan birokrasi menjadi efektif lagi menyenangkan, hendaklah
pemerintah dengan tegas memperhatikan dan menata sistem reward dan punishment.
Hal ini harus diimplemntasikan sampai level bawah pemerintahan. Dengan begitu,
diharapkan kualitas birokrasi meningkat, begitu pula kinerja aparat birorasi
dalam dunia kerja semakin bermutu. Reward yang diberikan pun harus secara adil
dan bijak. Jika tidak, reward malah
menimbulkan rasa cemburu dan ”persaingan yang tidak sehat” serta memicu rasa
sombong bagi pegawai yang memperolehnya. Tidak pula membuat seseorang terlena
dalam pujian dan hadiah yang diberikan sehingga membuatnya lupa diri. Oleh
karena itu, prinsip keadilan sangat dibutuhkan dalam pemberian reward.
Sebaliknya, jika punishment memang harus diberlakukan, maka laksanakanlah
dengan cara yang bijak lagi mendidik, tidak boleh sewenang-wenang, tidak pula
menimbulkan rasa kebencian yang berlebihan sehingga merusak tali silaturrahim.
Dalam proses penataan birokrasi, hendaknya punishment yang diberikan kepada
pegawai yang melanggar aturan telah disosialisasikan sebelumnya. Dan sebaiknya
sanksi itu sama-sama disepakati, sehingga mendorong si terhukum untuk bisa
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ikhlas.
Selanjutnya
hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi diberikan dengan
ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka hukuman tidak lagi
memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuatnya merasa takut dan benci
sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin. Di sinilah dibutuhkan skill dari
para pimpinan atau si pemberi punishment sehingga tujuan yang diinginkan dapat
tercapai secara efektif. Dalam konteks pembelajaran dikelas yang berkaitan
dengan kedisiplinan guru dalam melaksanakan tugas, penerapan metode reward dan
punishment juga dapat meningkatkan motivasi guru untuk hadir tepat waktu pada
kegiatan pembelajaran didalam kelas.
Bukanlah
hal yang aneh kalau siswa sering mengeluh tentang ketidakhadiran guru dalam
kegiatan belajar mengajar. Tidak pula asing kita dengan siswa mengeluh tentang
adanya guru yang menyampaikan pelajaran kurang dari waktu yang telah
ditentukan, atau menyampaikan materi seadanya. Yang ironis, ada pula guru yang
menuliskan kehadirannya di kelas padahal sebenarnya ia tidak menyampaikan
pelajaran kepada siswanya. Hal seperti ini tentu sangat mengecewakan siswa yang
serius untuk mengikuti perkuliahan.
Bagi
guru, ketidakhadiran dalam mengajar sesuai jadwal terkadang merupakan suatu hal
yang tidak terhindarkan, mengingat suatu kali mereka mempunyai keperluan yang
mendadak dalam waktu yang sama sehingga tidak mengajar. Namun hal demikian
menjadi tidak wajar jika ketidak hadiran atau keterlambatan mengajar dikelas
selalu dan sering terjadi. Hal ini berdampak buruk terhadap proses
pembelajaran. Pertama, siswa menjadi kecewa, dan hal ini dapat menurunkan motivasi
belajar mereka. Siswa memperoleh contoh yang buruk tentang kedisiplinan. Kedua,
guru yang mengajar dengan sungguh-sungguh merasa usahanya menjadi sia-sia dan
sekaligus kecewa. Apa yang mereka bangun dipatahkan oleh rekan seprofesinya.
Belum lagi, apabila guru yang disiplin dalam mengajar, memperoleh pendapatan
yang sama dengan guru yang jarang mengajar di kelas. Dampak dari guru yang
malas untuk mengajar bukan semata ditanggung mereka namun juga seluruh
institusi atau warga sekolah. Perilaku malas untuk mengajar juga bisa menjadi
virus bagi guru yang biasanya rajin mengajar.
Reward
dan
punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk
melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Reward artinya
ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan
salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan
perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan
biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara
berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang
menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang
telah dapat dicapainya. Sementara punishment diartikan sebagai hukuman
atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif;
maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau
diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode
ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan
membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat
pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.
Pada
dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk
dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan
reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah
ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk
perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi
pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk
dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
Peran reward dan punishment bagi SDM
inipun juga harus dibawa menjadi bentuk participative. Likert (1967)
menyebutkan dalam salah satu sistem manajemen participative ini mengakui
dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusiawi para pekerja. Tidak saja
kebutuhan faali, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Motivasi kerja tidak saja ditimbulkan melalui
hadiah-hadiah ekonomis, tetapi juga melalui partisipasi dalam kelompok dan
keterlibatannya dalam menentukan tujuantujuan pekerjaannya. Sikap kooperatif
dan tenggang rasa (favorable) terhadap para tenaga kerja lainnya dalam
organisasi. Bentuk partisipasi pengambilan keputusan dilakukan meluas dalam
organisasi. Namun terintegrasi dengan baik. Dalam system manajemen ini dapat
dikatakan tidak dirasakan adanya hubungan ketergantungan yang tidak seimbang
dari bawahan terhadap atasan.
Penerapan lain juga bisa diterapkan bagi karyawan
atau aparatur meningkatkan disiplin SDM aparatur yang masih rendah dengan
perubahan perilaku yang mendasar. Hal itu terjadi melalui revitalisasi
pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran dengan membangun komitmen kuat
dalam mengemban tugas sebagai pegawai negeri sipil, disertai pengembangan
sistem reward dan punishment yang tepat dan efektif (Bambang
Nugroho, 2006).
Pemberian rewards and punishments sangat
berkaitan dengan terlaksananya kedisiplinan guru dalam kegiatan belajar
mengajar dikelas. Kepala sekolah selaku pemimpin pembelajaran mempunyai peran
yang sangat strategis dalam pencapaian tujuan sekolah dalam meningkatkan mutu.
Salah satu faktor yang penting adalah adanya keteladanan (contoh) dalam
kedisiplinan yang diberikan oleh kepala sekolah. Hal ini seperti falsafah
pendidikan yang dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara,
”Ing Ngarso Sung Tuladha.”Kepala sekolah selaku pemimpin pembelajaran
harus bisa memberikan contoh kepada semua wara sekolah agar tercipta budaya
disiplin disekolah, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu sekolah.
B. Hipotesis Tindakan
Hipotesis
dalam penelitian ini adalah melalui penerapan Reward and
Punishment dapat meningkatkan kedisiplinan guru dalam kehadiran mengajar di
kelas.
0 komentar:
Posting Komentar