SUMBANGAN PENDIDIKAN JASMANI TERHADAP IQ
SISWA DI SMA NEGERI 1BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tujuan pendidikan nasional adalah seperti tercantum dalam Undang - Undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas,
2003:1).
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian juga halnya dengan pendidikan jasmani, menurut Balitbang
Depdiknas (2003:9) pada dasarnya Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral
dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek
kesehatan, kebugaran jasmani, ketrampilan berfikir praktis, stabilitas
emosional, ketrampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas
jasmani dan olahraga.
Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan
ketrampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai
(sikap-mental-emosional-spiritual-sosial), dan pembiasaan pola hidup sehat yang
bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang.
Pendidikan kesegaran jasmani sangat penting dalam menunjang prestasi
belajar. Prestasi belajar itu dapat berhasil dengan baik jika didukung oleh
kesegaran jasmani yang tinggi, khususnya kesiagaan fisik sebagai titik tolak
keseluruhan termasuk kesegaran sosial. Kebugaran tubuh adalah masalah
pendidikan seumur hidup, sebab erat hubungannya dengan tugas yang harus
dilakukan oleh seseorang. Berarti faktor kesegaran jasmani tidak terlepas dari
pengaruh emosional, mental dan spiritual manusia serta segala fungsinya, secara
keseluruhan mustahil dapat dipecahkan dalam bagian masing-masing, sehingga
kesegaran jasmani terarah dengan baik.
Ada bermacam-macam hal yang mempengaruhi hasil belajar siswa, di
antaranya faktor psikologis berupa tingkat kecerdasan atau intelegensi.
Beberapa pakar memiliki pengertian yang berbeda tentang intelegensi. W.
Stern dalam Ahmadi (2004:33) menjelaskan bahwa intelegensi adalah sumber daya
jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat didalam situasi baru,
Van Hoes dalam Ahmadi (2004:34) menjelaskan intelegensi merupakan kecerdasan
jiwa, sedangkan Heidentich mengemukakan bahwa inteligensi adalah menyangkut
kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha
penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan
masalah-masalah.
Kecerdasan atau intelegensi ini merupakan salah satu faktor yang cukup
berpengaruh di dalam peningkatan prestasi, karena merupakan kapasitas berfikir
seseorang. Yang kemudian menentukan cara berfikir seseorang tersebut. Namun,
banyak juga faktor yang menimbulkan kesulitan belajar bagi siswa. Kondisi yang
tidak mendukung pada faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan kesulitan belajar
siswa sehingga hasil belajarnya menjadi rendah.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat
perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain ialah: pembawaan, kematangan,
pembentukan, minat dan pembawaan yang khas serta kebebasan.
Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk
menentukan tinggi inteligensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak hanya
berpedoman kepada salah satu faktor tersebut di atas. Inteligensi adalah faktor
total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi
seseorang.
Kondisi umum jasmani dan tegangan otot yang memadai, tingkat kebugaran
organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan kesegaran
siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah dapat
menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif)
sehingga materi yang dipelajarinya pun akan berkurang atau terbatas. Kondisi
organ khusus siswa seperti tingkat kesehatan juga mempengaruhi kemampuan siswa
dalam menyerap informasi dan pengetahuan khususnya yang disajikan dalam kelas.
Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi terhadap intelegensi siswa, dimana
kemampuan intelegensi siswa ikut menurun.
SMA Negeri X adalah salah satu SMA unggulan di Kota Y dari dulu sampai
sekarang, ribuan alumni berprestasi telah lahir dari SMA ini dan mendapatkan posisi
yang penting di berbagai institusi.
Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk membuat suatu
penelitian tentang “Sumbangan Pendidikan Jasmani Terhadap IQ Siswa di SMA
Negeri X”.
1.2 Identifikasi Masalah
Pendidikan jasmani memberi andil dan sumbangan yang besar dalam
meningkatkan IQ siswa. penerapan pelajaran pendidikan jasmani yang baik dapat
memberikan semangat dan kesegaran siswa dalam mengikuti pelajaran, hal ini
merupakan faktor pendukung utama dalam meningkatkan IQ siswa. Dengan memberikan
materi pelajaran pendidikan jasmani kepada seluruh siswa maka perkembangan IQ
siswa lebih meningkat untuk menjalankan pelajaran pendidikan jasmani baik
secara teori maupun praktikum di lapangan.
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari masalah yang teridentifikasi di atas, penelitian ini dapat dibatasi
pada pendidikan jasmani dan IQ siswa. Dengan demikian rumusan masalahnya adalah
bagaimanakah pengaruh Pendidikan Jasmani terhadap IQ pada siswa SMA Negeri X.
1.4 Tujuan Penelitian
Mengingat pendidikan jasmani besar
pengaruhnya di dalam meningkatkan IQ siswa untuk meningkatkan pengetahuan umum
khususnya dibidang kesegaran jasmani.
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui seberapa besar pengaruhnya
pendidikan jasmani terhadap IQ siswa di SMA Negeri X.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi atau bahan
masukan bagi semua pihak sekolah yang terkait yaitu siswa, guru pendidikan
jasmani, kepala sekolah dan orang tua siswa untuk meningkatkan ilmu pendidikan
jasmani terhadap IQ siswa di SMA Negeri X. Melalui informasi tersebut mereka
dapat meningkatkan mutu pendidikan jasmani ke arah yang Iebih baik serta
menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dalam bidang penelitian pada
penulisan ilmiah ini.
LANDASAN TEORITIS
2.1
Hakikat
Pendidikan
Istilah “Pendidikan” merupakan kata yang tidak asing lagi untuk hampir
setiap orang. Namun demikian, istilah ini lebih sering diartikan secara berbeda
dari masa ke masa, termasuk oleh ahli yang berbeda pula.
Seseorang mungkin menerjemahkan pendidikan sebagai sebuah proses latihan.
(http://www.geocities.com/nana_suhana2002/kur_adaptif/olahraga.pdf). Orang lain mungkin menerjemahkannya sebagai
sejumlah pengalaman yang memungkinkan seseorang mendapatkan pemahaman dan pengetahuan baru yang lebih baik atau mungkin
pula diterjemahkan secara sederhana sebagai pertumbuhan dan perkembangan.
John Dewey, seorang pendidik yang mempunyai andil besar dalam dunia
pendidikan, mendefinisikan pendidikan sebagai “rekonstruksi aneka pengalaman
dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu
yang baru menjadi lebih terarah dan bermakna.” Definisi ini mengandung arti bahwa
seseorang berpikir dan memberi makna pada pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Lebih jauh definisi tersebut
mengandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari segala sesuatu yang ia lakukan dari mulai lahir sampai ia mati. Kata
kuncinya adalah melakukan atau mengerjakan. Seseorang belajar dengan cara
melakukan. Pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain,
lapangan olahraga, di perjalanan, atau di rumah.
Morse (1964:35) membedakan pengertian pendidikan ke dalam istilah pendidikan
liberal (liberal education) dan
pendidikan umum (general education).
Ia mengatakan bahwa pendidikan liberal lebih berorientasi pada bidang studi dan
menekankan penguasaan materinya (subject
centered). Tujuan utamanya adalah penguasaan materi pembelajaran secara
mendalam dan bahkan jika mungkin sampai tuntas. Pemikiran pendidikan seperti
ini sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam konteks pendidikan jasmani sekarang
ini, dan oleh karena itu, pengertian pendidikan seperti ini dipandang bersifat
tradisional.
Sementara itu, pendidikan modern lebih bersifat memperhatikan “pelakunya”
dari pada bidang studi atau materinya. Tujuan utamanya adalah mencapai
perkembangan individu secara menyeluruh sambil tetap memperhatikan perkembangan
perilaku intelektual dan sosial individu sebagai produk dari belajarnya (child centered). Pendidikan pada zaman
sekarang lebih banyak menekankan pada pengembangan individu secara total.
Kebanyakan sekolah sekarang ini menganut filsafat modern. Setiap individu
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pembelajaran secara individual pada
dasarnya merupakan pembelajaran untuk semua siswa, termasuk program untuk siswa
yang mempunyai kelambanan dalam perkembangannya, mengalami gangguan emosional,
dan siswa yang memiliki cacat fisik atau mental. Setiap siswa diberi kebebasan
untuk memilih materi pembelajaran yang diinginkannya dan memperoleh pelatihan
dari bidang kejuruan yang berbeda-beda.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada
zaman sekarang ini lebih menekankan pada pengembangan individu secara utuh.
Pengajar tidak hanya memperhatikan perolehan akademisnya, akan tetapi juga
kemampuan bicara, koordinasi, dan keterampilan sosialnya.
Para guru mencoba membantu setiap individu untuk belajar memecahkan
masalah masalah baik emosional maupun fisikal yang dihadapi oleh setiap siswa.
2.2
Pengertian
Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas
jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif dan
emosional dalam kerangka sistem pendidikan nasional. (Balitbang
Depdiknas,2003:4).
Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan,
kebugaran jasmani, ketrampilan berfikir kritis, stabilitas emosional,
ketrampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan
olahraga.
Dalam intensifikasi penyelenggaraan
pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur
hidup, peranan pendidikan jasmani adalah sangat penting. Pendidikan jasmani
memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka
pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang
dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk
membina, sekaligus memberikan gaya hidup sehat dan aktif sepanjang hayat.
Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan ketrampilan
motorik, kemampuan fisik, pengetahuan penalaran, penghayatan nilai
(sikap-mental-emosional-spiritual-sosial), dan pembiasaan pola hidup sehat yang
bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang.
Dengan Pendidikan Jasmani, siswa akan memperoleh berbagai ungkapan yang
erat kaitannya dengan kesan pribadi yang menyenangkan serta berbagai ungkapan
yang kreatif, inovatif, terampil, memiliki kebugaran jasmani, kebiasaan hidup
sehat dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap gerak manusia.
Dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, guru diharapkan mengajarkan
berbagai ketrampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan dan olabraga,
serta pembiasaan pola hidup sehat. Pelaksanaannya bukan melalui pengajaran
konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan
unsur fisik, mental, intelektual, emosi dan sosial. Aktivitas yang diberikan
dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik-metodik, sehingga
aktivitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran.
Tidak ada pendidikan yang tidak mempunyai sasaran paedagogis, dan tidak
ada pendidikan yang lengkap tanpa adanya Pendidikan Jasmani, karena gerak
sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan
dirinya sendiri yang secara alamiah berkembang searah dengan perkembangan
zaman. (Balitbang Depdiknas, 2003:5).
2.3
Hakikat
Pendidikan Jasmani dan Perkembangan Menyeluruh
Para guru mungkin sering menemukan atau mendengar pengertian pendidikan
jasmani dari berbagai sumber. Beberapa pengertian pendidikan jasmani yang
diperoleh tersebut disusun dalam redaksi yang beragam. Apabila kita cermati
lebih jauh, maka keragaman tersebut pada umumnya sama seperti pandangan
terhadap hakikat dan pengertian pendidikan sebelumnya. (http://www.geocities.com/nana_suhana2002/kur_adaptif/olahraga.pdf)
a.
Pandangan Tradisional
Pandangan pertama, atau juga sering disebut pandangan tradisional,
menganggap bahwa manusia itu terdiri dari dua komponen utama yang dapat
dipilah-pilah, yaitu jasmani dan rohani (dikhotomi).
Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik
jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani
manusia. Dengan kata lain pendidikan jasmani hanya sebagai pelengkap saja.
Di Amerika Serikat, pandangan dikhotomi ini muncul pada akhir abad 19
atau antara tahun 1885 - 1900. Pada saat itu, pendidikan jasmani dipengaruhi
oleh sistem Eropa, seperti: Sistem Jerman dan Sistem Swedia, yang lebih
menekankan pada perkembangan aspek fisik (fitness),
kehalusan gerak, dan karakter siswa, dengan gimnastik sebagai medianya. Pada
saat itu, pendidikan jasmani lebih berperan sebagai “medicine” (obat) daripada sebagai pendidikan. Oleh karena itu, para
pengajar pendidikan jasmani lebih banyak dibekali latar belakang akademis
kedokteran dasar (medicine).
Pandangan pendidikan jasmani berdasarkan pandangan dikhotomi manusia ini
secara empirik menimbulkan salah kaprah dalam merumuskan tujuan, program
pelaksanaan, dan penilaian pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan
pendidikan jasmani ini cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan,
memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Selain dari
itu, sering juga pelaksanaan pendidikan jasmani ini justru mengabaikan
kepentingan jasmani itu sendiri, hingga akhirnya mendorong timbulnya pandangan
modern.
b.
Pandangan Modern
Pandangan modern, atau sering juga disebut pandangan holistik, menganggap
bahwa manusia bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang
terpilah-pilah. Manusia adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu. Oleh
karena itu pendidikan jasmani tidak
hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen
saja.
Di Amerika Serikat, pandangan holistik ini awalnya dipelopori oleh Wood
dan selanjutnya oleh Hetherington pada tahun 1910. Pada saat itu pendidikan
jasmani dipengaruhi oleh “progressive
education”. Doktrin utama dari progressive
education ini menyatakan bahwa semua pendidikan harus memberi kontribusi
terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan pendidikan jasmani mempunyai
peranan yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut. Pada periode ini pendidikan jasmani diartikan
sebagai pendidikan melalui aktivitas jasmani (education through physical). Pandangan holistik ini, pada awalnya
kurang banyak memasukkan aktivitas sport karena pengaruh pandangan sebelumnya,
yaitu pada akhir abad 19, yang menganggap sport tidak sesuai di
sekolah-sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri sport terus tumbuh dan berkembang
menjadi aktivitas fisik yang merupakan bagian integral dari kehidupan manusia.
Sport menjadi populer, siswa menyenanginya, dan ingin mendapatkan kesempatan
untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah hingga para pendidik seolah-olah
ditekan untuk menerima sport dalam kurikulum di sekolah-sekolah karena
mengandung nilai-nilai pendidikan. Hingga akhirnya pendidikan jasmani juga
berubah, yang tadinya lebih menekankan pada gimnastik dan fitness menjadi lebih merata pada seluruh aktivitas fisik termasuk
olahraga, bermain, rekreasi atau aktifitas lain dalam lingkup aktivitas fisik.
Di Indonesia, salah satu contoh definisi pendidikan jasmani yang
didasarkan pada pandangan holistik ini dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan
Jasmani (sekarang sudah dibubarkan) yang dirumuskan tahun 1960, sebagai
berikut, “Pendidikan jasmani adalah
pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas manusia berupa
sikap, tindak, dan karya yang diberi bentuk, isi, dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita
kemanusiaan”.
Definisi yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer
(1992:32) sebagai berikut, “pendidikan jasmani merupakan bagian dari program
pendidikan umum yang memberi kontribusi,
terutama melalui pengalaman gerak, terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
secara menyeluruh. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan gerak
dan pendidikan melalui gerak, dan harus
dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan definisi tersebut”.
Definisi pendidikan jasmani dari pandangan holistik ini cukup banyak
mendapat dukungan dari para ahli pendidikan jasmani lainnya. Misalnya,
Siedentop (1990:26), mengemukakan, “pendidikan jasmani modern yang lebih
menekankan pada pendidikan melalui aktivitas jasmani didasarkan pada anggapan
bahwa jiwa dan raga merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pandangan ini memandang kehidupan sebagai totalitas”.
Wall dan Murray (1994:42), mengemukakan hal serupa dari sudut pandang
yang lebih spesifik, “masa anak-anak adalah masa yang sangat kompleks, dimana
pikiran, perasaan, dan tindakannya
selalu berubah-ubah. Oleh karena sifat anak-anak yang selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan
berkembang, maka perubahan satu elemen
sering kali mempengaruhi perubahan pada eleman lainnya. Oleh karena itulah, adalah anak secara keseluruhan yang
harus kita didik, tidak hanya mendidik
jasmani atau tubuhnya saja.”
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan jasmani pada dasarnya
merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai perkembangan
individu secara menyeluruh. Demikian perolehan keterampilan dan perkembangan
lain yang bersifat jasmaniah. Melalui
pendidikan jasmani, siswa disosialisasikan ke dalam aktivitas jasmani termasuk
keterampilan berolahraga. itu tidaklah mengherankan apabila banyak yang
meyakini dan mengatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian dari
pendidikan menyeluruh, dan sekaligus memiliki potensi yang strategis untuk
mendidik.
2.4
Tujuan dan
Fungsi Pendidikan Jasmani
2.4.1
Tujuan Pendidikan Jasmani
1.
Meletakkan landasan karakter yang kuat melalui
internalisasi nilai dalam pendidikan jasmani
2.
Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta
damai, sikap sosial dan toleransi dalam konteks kemajemukan budaya, etnis dan
agama.
3.
Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui
tugas-tugas pembelajaran Pendidikan Jasmani.
4.
Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin,
bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas
jasmani.
5.
Mengembangkan keterampilan gerak dan keterampilan
teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan,
senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (outdoor education).
6.
Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya
pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui
berbagai aktivitas jasmani.
7.
Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan
diri sendiri dan orang lain.
8.
Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani
sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola hidup sehat.
9.
Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang
bersifat rekreatif.
2.4.2
Fungsi Pendidikan Jasmani
1.
Aspek organik
a.
Menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik
sehingga individu dapat memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta
memiliki landasan untuk pengembangan keterampilan.
b.
Meningkatkan kekuatan yaitu jumlah tenaga maksimum yang
dikeluarkan oleh otot atau kelompok otot.
c.
Meningkatkan daya tahan yaitu kemampuan otot atau
kelompok otot untuk menahan kerja dalam waktu yang lama.
d.
Meningkatkan daya tahan kardiovaskuler, kapasitas
individu untuk melakukan aktivitas yang berat secara terus menerus dalam waktu
relatif lama.
e.
Meningkatkan fleksibelitas, yaitu rentang gerak dalam
persendian yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan
mengurangi cidera.
2.
Aspek neuromuskuler
a.
Meningkatkan keharmonisan antara fungsi saraf dan otot
b.
Mengembangkan keterampilan lokomotor, seperti;
berjalan, berlari, melompat, meloncat, meluncur, melangkah, mendorong,
menderap/ mencongklang, bergulir, dan menarik.
c.
Mengembangkan keterampilan non-lokomotor, seperti
mengayun, melengok, meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, menggantung,
membongkok.
d.
Mengembangkan keterampilan dasar manipulatif, seperti;
memukul, menendang, menangkap, berhenti, melempar, mengubah arah, memantulkan,
bergulir, memvoli.
e.
Mengembangkan faktor-faktor gerak, seperti; ketepatan,
irama, rasa gerak, power, waktu
reaksi, kelincahan.
f.
Mengembangkan keterampilan olahraga, seperti; sepak
bola, soft ball, bola voli, bola basket, base ball, atletik, tennis, beladiri
dan lain sebagainya.
g.
Mengembangkan keterampilan rekreasi, seperti,
menjelajah, mendaki, berkemah, berenang dan lainnya.
3.
Aspek perseptual
a.
Mengembangkan kemampuan menerima dan membedakan
isyarat.
b.
Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan
tempat atau ruang, yaitu kemampuan mengenali objek yang berada di: depan,
belakang, bawah, sebelah kanan atau sebelah kiri dan dirinya.
c.
Mengembangkan koordinasi gerak visual, yaitu; kemampuan
mengkoordinasikan pandangan dengan keterampilan gerak yang melibatkan tangan,
tubuh, dan atau kaki.
d.
Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis, dinamis),
yaitu; kemampuan mempertahankan keseimbangan statis dan dinamis.
e.
Mengembangkan dominansi (dominancy), yaitu; konsistensi dalam menggunakan tangan atau kaki
kanan/ kiri dalam melempar atau menendang.
f.
Mengembangkan lateralitas (laterality), yaitu; kemampuan membedakan antara sisi kanan atau
sisi kiri tubuh dan diantara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri.
g.
Mengembangkan image tubuh (body image), yaitu kesadaran bagian tubuh atau seluruh tubuh dan
hubungannya dengan tempat atau ruang.
4.
Aspek kognitif
a.
Mengembangkan kemampuan menggali, menemukan sesuatu,
memahami, memperoleh pengetahuan dan membuat keputusan.
b.
Meningkatkan pengetahuan peraturan permainan,
keselamatan, dan etika.
c.
Mengembangkan kemampuan penggunaan srategi dan teknik
yang terlibat dalam aktivitas yang terorganisir.
d.
Meningkatkan pengetahuan bagaimana fungsi tubuh dan
hubungannya dengan aktivitas jasmani.
e.
Menghargai kinerja tubuh; penggunaan pertimbangan yang
berhubungan dengan jarak, waktu, tempat, bentuk, kecepatan, dan arah yang
digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas dan dirinya.
f.
Meningkatkan pemahaman tentang memecahkan masalah perkembangan
melalui gerakan.
5.
Aspek sosial
a.
Menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan
dimana berada.
b.
Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan
keputusan dalam situasi kelompok.
c.
Belajar berkomunikasi dengan orang lain.
d.
Mengembangkan kemampuan bertukar pikiran dan
mengevaluasi ide dalam kelompok.
e.
Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat
berfungsi sebagai anggota masyarakat.
f.
Mengembangkan rasa memiliki dan rasa diterima di
masyarakat.
g.
Mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang positif.
h.
Belajar menggunakan waktu luang yang konstruktif.
i.
Mengembangkan sikap yang mencerminkan karakter moral
yang baik. (Balitbang Depdiknas, 2003:7).
6.
Aspek emosional
a.
Mengembangkan respon yang sehat terhadap aktivitas
jasmani.
b.
Mengembangkan reaksi yang positif sebagai penonton.
c.
Melepas ketegangan melalui aktivitas fisik yang tepat.
d.
Memberikan saluran untuk mengekspresikan diri dan
kreativitas.
e.
Menghargai pengalaman estetika dan berbagai aktivitas
yang relevan.
2.5
Pengertian
Inteligensi dan Kecerdasan
Banyak definisi tentang inteligensi telah dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya adalah:
a.
Bimo Walgito mengatakan (Muhammad Ali, 2005:27) istilah
inteligensi, semula berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatakan satu sama
lain.
b.
Menurut W. Stern dalam Ahmadi (2004:33) “inteligensi
adalah sumber daya jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat di
dalam situasi baru”.
c.
Menurut Vaan Hoes dalam Abu Ahmadi (2004:34)
“inteligensi merupakan kecerdasan jiwa”.
d.
Linda Campbel, Bruce Campbell dan Dee Dickinson dalam
Anonim (myschoolnet) (2006) merumuskan definisi kecerdasan menurut Howard
Gardner sebagai:
1.
Kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sebenarnya;
2.
Kemampuan mencari masalah baru untuk diselesaikan; dan
3.
Kemampuan membuat sesuatu atau menawarkan sesuatu yang
bernilai dalam lingkungan sesuatu budaya.
e.
Leis Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi
adalah kesanggupan belajar secara abstrak (Muhammad Ali, 2005:27).
f.
Jean Piaget menyatakan bahwa inteligensi yaitu seluruh
kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu
organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru. (Muhammad Ali,
2005:27).
g.
Bischof mengemukakan bahwa inteligensi ialah kemampuan
untuk memecahkan segala jenis masalah (Dalyono, 2005:184).
h.
Heidentich mengemukakan bahwa inteligensi adalah
menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari
dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau
dalam pemecahan masalah-masalah.
Apabila kita amati definisi yang
disajikan diatas meskipun rumusannya berbeda-beda, namun mengandung isi dan
pengertian yang sama dalam arti tidak bertentangan. Dalam dua definisi terakhir
tersirat bahwa inteligensi merupakan kemampuan “problem solving” dalam segala situasi yang baru atau yang
mengandung masalah.
“Prestasi belajar di sekolah sangat
dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi
meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak
menjamin sukses di masyarakat.” (Segal, 1997:33 dalam Semiawan, 2004:16).
“Seorang siswa harus dapat mengenali kemampuan dirinya yang meliputi bakat,
kepandaian, dan keterampilan. Pengenalan kemampuan ini dapat diketahui melalui
tes IQ atau tes-tes kemampuan lain” (Nafisah, 2001:18). “Masyarakat sering kali
menilai IQ (intelligence quotient)
disamakan dengan inteligensi atau kecakapan. Padahal, IQ hanya mengukur
sebagian kecil dan kecakapan” (Gsianturi, 2005:20). Eileen menjelaskan dalam
Gsianturi (2005:21): “IQ merupakan angka yang dipakai untuk menggambarkan
kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan rata-rata orang lain. Pada
umumnya IQ rata-rata orang diberi angka 100”.
Secara
lebih lengkap menurut Ahmadi (2004: 81):
Anak
dengan IQ-nya yang tinggi dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi.
Anak yang normal (90 – 110) dapat menamatkan SD tepat pada waktunya. Mereka
yang memiliki IQ 110 – 140 dapat
digolongkan cerdas, 140 ke atas tergolong genius. Golongan ini mempunyai
potensi untuk dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Jadi semakin
tinggi IQ seseorang akan cemakin cerdas pula. Mereka yang mempunyai 1Q kurang
dari 90 tergolong lemah mental (mentally
deffective). Anak inilah yang mengalami kesulitan belajar. Mereka ini digolongkan
atas golongan debil, embisil dan idiot.
Golongan
debil walaupun umurnya telah 25 tahun, kecerdasan mereka setingkat dengan anak
normal umur 12 tahun.
Golongan
embisil hanya mampu mencapai tingkat anak normal umur 7 tahun.
Golongan idiot
kecakapannya menyamai anak normal umur 3 tahun. Anak yang lergolong lemah
mental ini sangat terbatas kecakapannya.
Betapa sederhananya cara para ahli
mengungkapkan kecerdasan, yaitu hanya dengan angka yang disebut IQ. Angka
tersebut diperoleh dari tes tertulis yang intinya hanya kemampuan baca-tulis
saja. Bagaimana dengan mereka yang aktif dan berprestasi dengan seni, olah
raga, kepemimpinan organisasi. Apakah mereka tidak cerdas? Padahal betapa
pentingnya IQ dalam kehidupan ini, sehingga menentukan harga diri bahkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu, Semiawan (2004:17) mengemukakan
pendapat lain:
Berbagai
penelitian kemudian membuktikan bahwa kemampuan rasional tersebut biasa diukur
dengan IQ (intelligence quetient).
Meskipun kini terbukti bahwa orang memiliki lebih dari satu inteligensi menurut
teori Gardner ada 9 (teori multiple
intelligence), ukuran yang disebut IQ mengukur kemampuan umum yang bersifat
tunggal masih sering dipakai untuk menandai kemampuan intelektual dan prestasi
belajar. Ternyata bahwa otak tersebut masih menyimpan berbagai kemungkinan
lain.
Lebih lanjut Goleman dalam Semiawan
(2004:18) menyatakan bahwa: “selain rational
mind, seorang memiliki emotional lain yang masing-masing diukur oleh IQ dan
EQ dan bersumber masing-masing dan head
dan heart. Kedua kehidupan mental tersebut, meskipun
berfungsi dengan cara-cananya sendiri, bekerjasama secara sinergis dan
harmonis”. Bahkan Herman Hesse (2005:21) menambahkan satu macam kecerdasan
lagi, yaitu kecerdasan spiritual: “Patut diingat sukses bukanlah karir dan
finansial semata, tetapi juga termasuk keluarga yang harmonis, persahabatan,
kesehatan tubuh, tingkat kecerdasan inteligensi, emosional maupun kecerdasan
spiritual”.
Selanjutnya Gardner dalam Hemowo
(2006:34) mengemukakan:
Dari
penelitian telah ditemukan adanya sembilan kecerdasan yang tersimpan di dalam
otak manusia. Sembilan kecerdasan tersebut adalah cerdas logika/ matematika (logic smart), cerdas kata (word smart), cerdas musik (music smart), cerdas tubuh (body smart), cerdas gambar (picture smart), cerdas bergaul (people smart), cerdas diri (self smart), cerdas alam (nature smart), dan cerdas makna (existence smart).
Ternyata kecerdasan yang oleh banyak
orang sering digambarkan dengan IQ, terutama banyak diributkan oleh orang-orang
yang baru lulus sekolah atau kuliah, dan ingin melanjutkan atau melamar kerja.
Akan tetapi seiring dengan berjalannya sang waktu, ilmupun berkembang oleh
berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, diketemukan bermacam-macam
kecerdasan yang mengacu pada berbagai bidang keahlian.
2.6
Teori-teori
Tentang Inteligensi
Untuk lebih memperjelas pengertian inteligensi, berikut ini dikemukakan
beberapa teori tentang inteligensi. (Dalyono, 2005:185).
a.
Teori “Uni-Factor”
Pada tahun 1911, Wilhelm Stern memperkenalkan suatu teori tentang
inteligensi yang disebut “uni-factor
theory”. Teori ini dikenal pula sebagai teori kapasitas umum. Menurut teori
ini, inteligensi merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Karena itu, cara
kerja inteligensi juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau memecahkan sesuatu masalah adalah
bersifat umum pula. Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologis
ataupun akibat belajar. Kapasitas umum (general
capacity) yang ditimbulkan itu lazim dikemukakan dengan kode “G”.
b.
Teori “Two-Factors”
Pada tahun 1904 yaitu sebelum Stern, seorang ahli matematika bernama
Charles Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori Spearman
itu terkenal dengan sebutan “Two Kinds of
Factors Theory.”
Spearman mengembangkan teori inteligensi berdasarkan suatu faktor mental
umum yang diberi kode “g” serta faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “s”.
Faktor “g” mewakili kekuatan mental umum yang berfungsi dalam setiap tingkah
laku mental individu, sedangkan faktor-faktor “s” menentukan tindakan-tindakan
mental untuk mengatasi permasalahan.
Orang yang inteligensinya mempunyai faktor “g” luas, memiliki kapasitas
untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia dapat mempelajari bermacam-macam
pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, sejarah, dan sebagainya dengan
menggunakan berbagai simbol abstrak. Orang yang memiliki faktor “g” sedang atau
rata-rata ia mempunyai kemampuan sedang untuk mempelajari bidang-bidang studi.
Luasnya faktor “g” ditentukan oleh kerjanya otak secara unit atau keseluruhan.
Faktor “s” didasarkan pada gagasan, bahwa fungsi otak tergantung kepada ada dan
tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau masalah tertentu
yang khusus. Dengan demikian, luasnya faktor “s” mencerminkan kerja khusus dan
otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor “s” lebih tergantung kepada
organisasi neurologis yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan khusus.
c.
Teori “Multi-Factors”
Teori mteligensi multi faktor
dikembangkan oleh E.L Thorndike. Teori ini tidak berhubungan dengan konsep general ability atau faktor “g”. Menurut
teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara
stimulus dan respon. Hubungan-hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan
tingkah laku individu. Ketika seseorang dapat menyebutkan sebuah kata,
menghafal sajak, menjumlahkan bilangan, atau melakukan pekerjaan itu berarti
bahwa ia dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi di dalam
sistem saraf akibat belajar atau latihan. Manusia diperkirakan memiliki 13
miliar urat saraf sehingga memungkinkan adanya hubungan neural yang banyak
sekali. Jadi, inteligensi menurut teori ini adalah jumlah koneksi aktual dan
potensial di dalam sistem saraf.
d.
Teori “Primary-Mental-Abilities”
L.L Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang organisasi inteligensi
yang abstrak, ia dengan menggunakan tes-tes mental serta teknik-teknik
statistik khusus membagi inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
(1) Kemampuan numerical/ matematis.
(2) Kemampuan verbal, atau berbahasa.
(3) Kemampuan abstraksi berupa visualisasi atau berpikir.
(4) Kemampuan membuat keputusan, baik induktif maupun deduktif.
(5) Kemampuan mengenal atau mengamati.
(6) Kemampuan mengingat.
Menurut teori “Primary-Mental-Abilities”
ini, inteligensi merupakan penjelmaan dari ke tujuh kemampuan pribadi di atas.
Masing-masing dari ke tujuh kemampuan primer itu adalah independen serta
menjadikan fungsi-fungsi pikiran yang berbeda atau berdiri sendiri. Para ahli
lain menyoroti teori ini sebagai teori yang mengandung kelemahan menganggap
adanya pemisahan fungsi atau kemampuan pada mental individu. Menurut mereka,
setiap kemampuan individu adalah saling berhubungan secara integratif.
e.
Teori “Sampling”
Untuk menjelaskan tentang inteligensi, Godfrey H. Thomson pada tahun 1916
mengajukan sebuah teorinya yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian
disempurnakan lagi pada tahun 1935 dan 1948. Menurut teori ini, inteligensi
merupakan berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang
pengalaman. Berbagai bidang pengalaman itu terkuasai oleh pikiran manusia
tetapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya terkuasai sebagian-sebagian
saja dan ini mencerminkan kemampuan mental manusia. Inteligensi beroperasi dengan
terbatas pada sampel dan berbagai kemampuan atau pengalaman dunia nyata.
Sebagai gambaran misalnya saja dunia nyata terdapat kemampuan atau bidang –
bidang pengalaman A, B, C. Inteligensi bergerak dengan sampel, misalnya
sebagian A dan sebagian B; atau dapat pula sebagian dan bidang-bidang A, B dan
C.
2.7
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Inteligensi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat
perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain ialah:
a.
Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak
lahir. Batas kesanggupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal,
pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar dan ada
yang bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama,
perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
b.
Kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah
mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tak dapat
memecahkan soal-soal tertentu, karena soal-soal itu masih terlampau sukar
baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang
untuk melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan umur.
c.
Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang
dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam
sekitar).
d.
Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan
bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif)
yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar, motif menggunakan
dan menyelidiki dunia luar (manipulate
and exploring motive). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan
terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. Apa
yang mereka minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih
baik.
e.
Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang
tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih
metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan
adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat
dalam perbuatan inteligensi. (Dalyono, 2005:189).
Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk
menentukan tinggi inteligensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak hanya
berpedoman kepada salah satu faktor tersebut di atas. Inteligensi adalah faktor
total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi
seseorang.
Pokok perdebatan masa kini beralih pada faktor manakah yang lebih
menentukan perbedaan inteligensi antara individu yang satu dengan yang lain,
apakah faktor genetis ataukah lingkungan. Ada banyak bukti penelitian yang
menyatakan bahwa inteligensi seseorang merupakan hasil interaksi antara faktor
genetis dengan faktor lingkungan (Hardy dan Heyes, 1988:69; Azwar, 2002:76).
Evolusi inteligensi tidak seperti yang dikemukakan di dalam asosianisme dari
Taine dan Ribot yaitu kontinu tetapi berirama. Pada suatu saat inteligensi akan
kembali pada tingkat tertentu, bergelombang, berinterferensi, dan mempunyai
rentang waktu (Piaget,1969:215).
2.8
Pengukuran
Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal
Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang
kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes
Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
(www.balitacerdas.com).
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak
perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks
numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah
diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang
kemudian dikenal dengan Intelligence
Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet
ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
(www.balitacerdas.com).
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah
bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum
saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih
spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat
tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for
Children) untuk anak-anak. (www.balitacerdas.com).
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan
tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes
tersebut dibuat.
2.9
Tahapan
Perkembangan Intelek/ Kognitif
Jean Piaget (Ali, 2005:27) membagi
perkembangan intelek/ kognitif ke menjadi empat tahapan sebagai berikut :
a.
Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini, anak berada dalam
masa pertumbuhan yang ditandai oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris
yang jelas. Segala perbuatan merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek
sensori-motoris tersebut.
Pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk orang
tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini
terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dan lingkungannya. Dalam melakukan
interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak
mengembangkan kemampuannya untuk mempercepat melakukan sentuhan-sentuhan,
melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-lahan belajar mengkoordinasikan
tindakan-tindakannya.
b.
Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap
intuisi, sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderunganyang
ditandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak
didukung oleh pemikiran, tetapi oleh unsur perasaan, kecenderungan alamiah,
sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang yang bermakna dan lingkungan
sekitarnya.
Pada tahap ini, anak sangat bersifat egosentris sehingga seringkali
mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan
orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak cenderung sulit untuk
dapat memahami pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan pandangannya
sendiri. Dalam berinteksi dengan lingkungannya, ia masih sulit untuk membaca
kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan, karena masih punya anggapan bahwa
hanya ada satu kebenaran atau peristiwa dalam setiap situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi
saja, tetapi juga pada intuisi. Anak mampu menyimpan kata-kata serta
menggunakannya terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka. Pada
masa ini, anak siap untuk belajar bahasa, membaca dan menyanyi. Ketika kita
menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara pada anak, akan mempunyai akibat
sangat baik pada perkembangan bahasa mereka. Cara belajar yang memegang peran
pada tahap ini ialah intuisi. Intuisi membebaskan mereka dari berbicara semaunya
tanpa menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering kita lohat
anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada di sekitarnya, misalnya
pohon, kucing dan sebagainya, yang menurut mereka benda-benda tersebut dapat
mendengar dan berbicara. Peristiwa semacam ini baik untuk melatih diri anak
menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget menyebut tahap ini sebagai collective monologue, pembicara yang
egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain.
c.
Tahap Operasional Konkret
Tahap ini mulai berlangsung antara usia 7 – 11 tahun.
Pada tahap ini, anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah
mulai berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini menurut Piaget,
interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya, sudah semakin berkembang
dengan baik karena egosentrisnya sudah makin berkurang. Anak sudah dapat
mengamati, menimbang, mengevaluasi dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain
dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.
Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan
fungsional karena mereka sudah menguji coba suatu permasalahan. Cara anak yang
bersifat konkret menyebabkan mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau
melakukan abstraksi tentang suatu yang konkret. Disini sering terjadi kesulitan
antara orang tua dan guru. Misalnya, orang tua ingin menolong anak mengerjakan
pekerjaan rumah, tetapi memakai cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh
guru sehingga anak tidak setuju. Sementara seringkali anak lebih percaya
terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya ketimbang orang tuanya. Akibatnya,
kedua cara tersebut baik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya sama-sama
tidak dimengerti oleh anak.
d.
Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini,
anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan
hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang
sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
Pada tahap ini, interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas,
menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi
dengan orang dewasa. Kondisi seperti ini
tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya dengan orang tua. Namun,
sebenarnya secara diam-diam mereka juga masih mengharapkan perlindungan dari
orang tua karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Jadi pada tahap ini, ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin
dilindungi.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran
formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat
menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti.
Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang
positif bagi perkembangan kognitifnya. Misalnya, menulis puisi, lomba karya
ilmiah, lomba menulis cerpen dan sebagainya.
2.10 Inteligensi Pria dan Wanita
Banyak orang yang sudah meyakini, bahwa antara pria dan wanita tidak
terdapat perbedaan dalam hal inteligensi. Banyak pula penelitian yang
membuktikan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara inteligensi pria
dengan inteligensi wanita. Dari tes-tes yang pernah diberikan, wanita terutama
berkelebihan dalam hal mengerjakan tes-tes yang menyangkut penggunaan bahasa,
hafalan-hafalan, reaksi-reaksi estetika serta masalah-masalah sosial. Di lain
pihak, laki-laki berkelebihan dalam penalaran abstrak, penguasaan matematika,
mekanika atau structural skills.
Kalaupun ada perbedaan mengenai hal-hal tersebut, apakah itu disebabkan karena
faktor lingkungan? Sebelum menjawab “ya” sebaiknya kita renungkan terlebih dulu
serta menjelaskan, mengapa bayi-bayi perempuan dan bayi-bayi laki-laki itu
sudah menunjukkan perbedaan dalam hal minat-minat dan reaksi-reaksi mereka
terhadap lingkungannyal atau mengapa perbedaan kelamin pada hewan-hewan yang
lebih rendah tingkat inteligensinya berhubungan dengan perbedaan kelakuan
mereka.
Secara herediter kita hanya dapat menduga, barangkali perbedaan minat dan
kelakuan antara laki-laki dan wanita disebabkan karena perbedaan sifat”genes” atau kromosom. Secara tidak
langsung, perbedaan itu tidak barangkali disebabkan oleh adanya mekanisme
interaksi kromosom-kromosom xy yang mengakibatkan bentuk tubuh, bekerjanya
kelenjar dan zat-zat biochemical.
Selama antara pria dan wanita terdapat perbedaan fisis dan psikis,
latihan, pengalaman, pola hidup, kebutuhan dan minatnya, maka kita hanya akan
mendapati kenyataan bahwa tes-tes inteligensi tidak akan mengukur secara akurat
tentang perbandingan antara kapasitas mental wanita dengan kapasitas mental
pria. Dengan demikian, kita masih mengalami kesulitan untuk mengatakan, bahwa
wanita lebih superior daripada pria
dalam hal inteligensi.
2.11 Pewarisan Inteligensi
Pewarisan inteligensi secara tegas belum dapat dijelaskan oleh karena:
a.
Dengan adanya berbagai definisi dan teori tentang
inteligensi, maka hingga pada saat ini
belum memperoleh pengertian yang standar/ baku tentang inteligensi itu.
b.
Sampai saat ini, kita belum memiliki alat ukur yang
cermat untuk mengetahui IQ seseorang. Tes untuk mengukur inteligensi akademik
dan tes untuk mengukur inteligensi praktis seharusnya menggunakan alat ukur
yang berbeda, tetapi hingga saat ini tes atau alat ukur yang digunakan untuk
kedua macam inteligensi itu sama. Masih diragukan, bahwa tinggi atau rendahnya
IQ belum menentukan kapasitas mental seseorang.
Para psikolog seperti Thurstone lebih percaya kepada penentuan “mental endowment” (penentuan kapasitas
mental yang hanya bersifat sebagai halnya hadiah) daripada skor IQ.
E.L. Thurndike berpendapat, bahwa kemampuan mental yang berbeda pada
masing-masing individu adalah tidak disebabkan oleh perbedaan bagian-bagian
otak, melainkan oleh perbedaan operasi (hooks
up) antara sel-sel saraf otak, alat-alat indera serta bagian-bagian lain
dan sistem saraf. Perihal inteligensi baru akan dapat dijelaskan dengan tegas,
apabila telah berhasil merumuskan secara definisi mengenai elemen-elemen
inteligensi yang berbeda serta telah mempelajari manifestasinya didalam
masing-masing individu serta keluarga-keluarga mereka, menurut segala kondisi
lingkungannya, maka baru akan dapat menjelaskan secara tegas mengenai pewarisan
inteligensi sebagai keseluruhan maupun cara-cara yang khusus.
2.12 Hubungan Antara Pendidikan Jasmani dengan
Inteligensi
Memang sudah banyak penelitian yang menunjukkan, bahwa pendidikan dapat
meningkatkan skor-skor inteligensi, termasuk pendidikan jasmani, namun apakah
inteligensi itu sendiri memang meningkat ataukah tidak, hal ini masih menjadi
pertanyaan.
Menurut para psikolog dari Universitas Lowa, inteligensi pada anak-anak
yang masih muda mengalami peningkatan secara material apabila mereka sebelumnya
telah memiliki pengalaman belajar yang menstimulasi aktivitas-aktivitas
berlatih seperti yang diberikan dalam pendidikan kanak-kanak. Terhadap
penelitian ini ada beberapa psikolog yang mengkritik dan beranggapan bahwa
penelitian ini mengandung kelemahan-kelemahan teknis, karena pemberian tes-tes
inteligensi “before and after” bagi
anak-anak tingkat pendidikan taman kanak-kanak dirasa kurang reliabel.
Sehubungan dengan penelitian para psikolog Lowa tersebut, Nancey Bayley mengemukakan pendapat bahwa IQ
anak-anak yang masih terlalu muda mengalami perubahan “turun naik” (tidak
tetap). Ia berpendapat, bahwa kapasitas mental anak yang masih terlalu muda
tidak berkembang dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan perkembangan
mental anak-anak sebaya lainnya, meskipun mereka mempunyai kekuatan-kekuatan
intelektual yang sama. Ini dapat berarti bahwa, dalam tahap perkembangan
tertentu seorang anak dapat memiliki IQ yang tinggi. Penelitian yang dilakukan
oleh Prof.Irving Lorge (1945:32) dari Universitas Colombia menunjukkan, bahwa
IQ seseorang berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin tinggi pula skor IQ-nya, namun demikian, Lorge
sendiri masih meragukan, apakah peningkatan skor IQ itu benar-benar disebabkan
karena tingkat pendidikan seseorang, sebab masih banyak faktor yang masih perlu
diperhitungkan seperti lingkungan keluarga, Iingkungan sosial, ‘drive”, minat belajar, kepribadian,
prosedur pemberian tes-tes “before – after”, semuanya dapat mempengaruhi
skor-skor prestasi pendidikan seseorang.
Sedemikian jauh belum terdapat bukti yang menguatkan bahwa latihan atau
faktor lingkungan lainnya dapat menambah ataupun mengurangi skor IQ. Kenyataan
menunjukkan bahwa dalam lingkungan yang sama dengan latihan yang sama dan
seringkali dengan latar belakang yang sama pula, anak-anak dapat memiliki
perbedaan dalam hal IQ. (Dalyono, 2005:192).
2.13 Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah kesimpulan, tetapi kesimpulan ini belum final.
masih harus dibuktikan kebenarannya, (Surakhman. 1978:68).
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah pendidikan
jasmani besar pengaruhnya terhadap IQ siswa di SMA Negeri X.
2.14 Definisi Operasional
Pendidikan Jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas
jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif dan
emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional (Balitbang Depdiknas.
2003:5).
Eileen menjelaskan dalam Gsianturi (2005:21), IQ merupakan angka yang
dipakai untuk menggambarkan kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan
rata-rata orang lain. Pada umumnya IQ rata-rata orang diberi angka 100”.
Besar kecilnya pengaruh pendidikan jasmani terhadap IQ dilihat dari
perhitungan statistik. Dikatakan besar pengaruhnya apabila hasil perhitungan
statistik tersehut mencapai 0,8. (Arikunto. 2006:276).
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Rancangan
3.1.1
Metode
Penelitian
Metode penelitian adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
peneliti untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah ditetapkan
melalui prosedur ilmiah yang sudah ditentukan. Penelitian ini dapat digolongkan
ke dalam penelitian deskriptif, yaitu untuk mengevaluasi dari variabel sesuai
yang dikemukakan Nazir (1983 : 63).
Penelitian
deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang
berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi yang tertentu termasuk tentang
hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dan dari
fenomena-fenomena tertentu.
3.1.2
Rancangan
Penelitian
Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi gambaran atau
lukisan secara sistematis dan faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat sebab
hubungan yang diselidiki. Bentuk dari penelitian ini adalah mengevaluasi
sumbangan pendidikan jasmani terhadap IQ siswa di SMA Negeri X. Penelitian ini
adalah dengan melakukan tes IQ dan dikorelasikan dengan nilai dari mata
pelajaran pendidikan jasmani.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan responden yang dijadikan objek dalam
penelitian, adapun yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas 2 SMA Negeri X yang berjumlah 192 orang. Sedangkan pengambilan
sampel penulis lakukan secara acak dari keseluruhan populasi mengingat populasi
terlalu besar maka penulisannya mengambil sebagiannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Arikunto (1987:82) yang menyatakan: “apabila populasi lebih dari 100
orang maka dapat diambil keseluruhannya, dan penelitian itu menjadi penelitian
populasi, sedangkan jika populasi lebih dari 100 orang maka dapat diambil
10-15%, 20-25% atau 50%”. Sampel dalam penelitian ini yaitu beberapa siswa yang
dipilh secara acak mewakili dari masing–masing lokal di kelas 2, yaitu
berjumlah 20 orang.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan bagi penelitian ini, maka peneliti
menggunakan teknik tes pengukuran terhadap seluruh sampel dengan cara
melaksanakan tes IQ dan mengumpulkan nilai mata pelajaran pendidikan jasmani.
3.4 Teknik Analisis Data
Berdasarkan uraian di atas, untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
telah dirumuskan, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian IQ diolah
dengan menggunakan rumus statistik yaitu menghitung rata-rata. Adapun rumus
yang untuk menghitung rata-rata adalah rumus yang dikemukakan oleh Sudjana
(1989:67) sebagai berikut :
Keterangan
: M =
Rata-rata yang dicari
∑ x = Jumlah score x
N = Jumlah sampel
Selanjutnya untuk mencari persentase
dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Hadi (1989:229) yaitu :
Keterangan
: P =
Persentase yang dihitung
F = Frekuensi
N = Jumlah sampel
Selanjutnya untuk menganalisis tes IQ penulis menggunakan total skor dari
semua nilai yang dijawab oleh responden atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan (angket berupa soal-soal psikotest).
Setelah data-data yang diperlukan dalam penelitian terkumpul, maka
penulis juga menggunakan model korelasi dengan rumus:
Keterangan :
N = Angka
indeks korelasi produk momen
rxy = Jumlah kasus
∑
xy = Sejumlah hasil perkalian antara variabel x dan y
∑
x = Jumlah seluruh skor x
∑
y = Jumlah seluruh skor y
3.5 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri X pada bulan Desember 2008.
3.6 Alat dan Perlengkapan Penelitian
Alat
dan perlengkapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.
Stop watch
b.
Alat tulis
Anda mau kelanjutannya hubungi kami di HP. 085318480701 atau email yuswardist@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar