Rabu, 18 Maret 2015

Contoh Skripsi Pendidikan Jasmani (Penjas) SMA

SUMBANGAN PENDIDIKAN JASMANI TERHADAP IQ
SISWA DI SMA NEGERI 1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Tujuan pendidikan nasional adalah seperti tercantum dalam Undang - Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas, 2003:1).


Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian juga halnya dengan pendidikan jasmani, menurut Balitbang Depdiknas (2003:9) pada dasarnya Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, ketrampilan berfikir praktis, stabilitas emosional, ketrampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga.

Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan ketrampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai (sikap-mental-emosional-spiritual-sosial), dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang.
Pendidikan kesegaran jasmani sangat penting dalam menunjang prestasi belajar. Prestasi belajar itu dapat berhasil dengan baik jika didukung oleh kesegaran jasmani yang tinggi, khususnya kesiagaan fisik sebagai titik tolak keseluruhan termasuk kesegaran sosial. Kebugaran tubuh adalah masalah pendidikan seumur hidup, sebab erat hubungannya dengan tugas yang harus dilakukan oleh seseorang. Berarti faktor kesegaran jasmani tidak terlepas dari pengaruh emosional, mental dan spiritual manusia serta segala fungsinya, secara keseluruhan mustahil dapat dipecahkan dalam bagian masing-masing, sehingga kesegaran jasmani terarah dengan baik.
Ada bermacam-macam hal yang mempengaruhi hasil belajar siswa, di antaranya faktor psikologis berupa tingkat kecerdasan atau intelegensi.
Beberapa pakar memiliki pengertian yang berbeda tentang intelegensi. W. Stern dalam Ahmadi (2004:33) menjelaskan bahwa intelegensi adalah sumber daya jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat didalam situasi baru, Van Hoes dalam Ahmadi (2004:34) menjelaskan intelegensi merupakan kecerdasan jiwa, sedangkan Heidentich mengemukakan bahwa inteligensi adalah menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalah-masalah.
Kecerdasan atau intelegensi ini merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh di dalam peningkatan prestasi, karena merupakan kapasitas berfikir seseorang. Yang kemudian menentukan cara berfikir seseorang tersebut. Namun, banyak juga faktor yang menimbulkan kesulitan belajar bagi siswa. Kondisi yang tidak mendukung pada faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa sehingga hasil belajarnya menjadi rendah.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain ialah: pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan yang khas serta kebebasan.
Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan tinggi inteligensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut di atas. Inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang.
Kondisi umum jasmani dan tegangan otot yang memadai, tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan kesegaran siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun akan berkurang atau terbatas. Kondisi organ khusus siswa seperti tingkat kesehatan juga mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan khususnya yang disajikan dalam kelas. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi terhadap intelegensi siswa, dimana kemampuan intelegensi siswa ikut menurun.
SMA Negeri X adalah salah satu SMA unggulan di Kota Y dari dulu sampai sekarang, ribuan alumni berprestasi telah lahir dari SMA ini dan mendapatkan posisi yang penting di berbagai institusi.
Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk membuat suatu penelitian tentang “Sumbangan Pendidikan Jasmani Terhadap IQ Siswa di SMA Negeri X”.

1.2  Identifikasi Masalah
Pendidikan jasmani memberi andil dan sumbangan yang besar dalam meningkatkan IQ siswa. penerapan pelajaran pendidikan jasmani yang baik dapat memberikan semangat dan kesegaran siswa dalam mengikuti pelajaran, hal ini merupakan faktor pendukung utama dalam meningkatkan IQ siswa. Dengan memberikan materi pelajaran pendidikan jasmani kepada seluruh siswa maka perkembangan IQ siswa lebih meningkat untuk menjalankan pelajaran pendidikan jasmani baik secara teori maupun praktikum di lapangan.
                             
1.3  Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari masalah yang teridentifikasi di atas, penelitian ini dapat dibatasi pada pendidikan jasmani dan IQ siswa. Dengan demikian rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pengaruh Pendidikan Jasmani terhadap IQ pada siswa SMA Negeri X.

1.4  Tujuan Penelitian
Mengingat pendidikan jasmani  besar pengaruhnya di dalam meningkatkan IQ siswa untuk meningkatkan pengetahuan umum khususnya dibidang kesegaran jasmani.
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui seberapa besar pengaruhnya pendidikan jasmani terhadap IQ siswa di SMA Negeri X.

1.5  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi atau bahan masukan bagi semua pihak sekolah yang terkait yaitu siswa, guru pendidikan jasmani, kepala sekolah dan orang tua siswa untuk meningkatkan ilmu pendidikan jasmani terhadap IQ siswa di SMA Negeri X. Melalui informasi tersebut mereka dapat meningkatkan mutu pendidikan jasmani ke arah yang Iebih baik serta menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dalam bidang penelitian pada penulisan ilmiah ini.


 BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1          Hakikat Pendidikan
Istilah “Pendidikan” merupakan kata yang tidak asing lagi untuk hampir setiap orang. Namun demikian, istilah ini lebih sering diartikan secara berbeda dari masa ke masa, termasuk oleh ahli yang berbeda pula.
Seseorang mungkin menerjemahkan pendidikan sebagai sebuah proses latihan. (http://www.geocities.com/nana_suhana2002/kur_adaptif/olahraga.pdf). Orang lain mungkin menerjemahkannya sebagai sejumlah pengalaman yang memungkinkan seseorang mendapatkan pemahaman dan  pengetahuan baru yang lebih baik atau mungkin pula diterjemahkan secara sederhana sebagai pertumbuhan dan perkembangan.     
John Dewey, seorang pendidik yang mempunyai andil besar dalam dunia pendidikan, mendefinisikan pendidikan sebagai “rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru menjadi lebih terarah dan bermakna.” Definisi ini mengandung arti bahwa seseorang berpikir dan memberi makna pada pengalaman-pengalaman  yang dilaluinya. Lebih jauh definisi tersebut mengandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari segala sesuatu yang ia  lakukan dari mulai lahir sampai ia mati. Kata kuncinya adalah melakukan atau mengerjakan. Seseorang belajar dengan cara melakukan. Pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain, lapangan olahraga, di perjalanan, atau di rumah.
Morse (1964:35) membedakan pengertian pendidikan ke dalam istilah pendidikan liberal (liberal education) dan pendidikan umum (general education). Ia mengatakan bahwa pendidikan liberal lebih berorientasi pada bidang studi dan menekankan penguasaan materinya (subject centered). Tujuan utamanya adalah penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan bahkan jika mungkin sampai tuntas. Pemikiran pendidikan seperti ini sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam konteks pendidikan jasmani sekarang ini, dan oleh karena itu, pengertian pendidikan seperti ini dipandang bersifat tradisional.
Sementara itu, pendidikan modern lebih bersifat memperhatikan “pelakunya” dari pada bidang studi atau materinya. Tujuan utamanya adalah mencapai perkembangan individu secara menyeluruh sambil tetap memperhatikan perkembangan perilaku intelektual dan sosial individu sebagai produk dari belajarnya (child centered). Pendidikan pada zaman sekarang lebih banyak menekankan pada pengembangan individu secara total.
Kebanyakan sekolah sekarang ini menganut filsafat modern. Setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pembelajaran secara individual pada dasarnya merupakan pembelajaran untuk semua siswa, termasuk program untuk siswa yang mempunyai kelambanan dalam perkembangannya, mengalami gangguan emosional, dan siswa yang memiliki cacat fisik atau mental. Setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih materi pembelajaran yang diinginkannya dan memperoleh pelatihan dari bidang kejuruan yang berbeda-beda.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada zaman sekarang ini lebih menekankan pada pengembangan individu secara utuh. Pengajar tidak hanya memperhatikan perolehan akademisnya, akan tetapi juga kemampuan bicara, koordinasi, dan keterampilan sosialnya.
Para guru mencoba membantu setiap individu untuk belajar memecahkan masalah masalah baik emosional maupun fisikal yang dihadapi oleh setiap siswa.

2.2          Pengertian Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif dan emosional dalam kerangka sistem pendidikan nasional. (Balitbang Depdiknas,2003:4).
Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, ketrampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, ketrampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga.
           Dalam intensifikasi penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, peranan pendidikan jasmani adalah sangat penting. Pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam aneka pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina, sekaligus memberikan gaya hidup sehat dan aktif sepanjang hayat.
Pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan ketrampilan motorik, kemampuan fisik, pengetahuan penalaran, penghayatan nilai (sikap-mental-emosional-spiritual-sosial), dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang.
Dengan Pendidikan Jasmani, siswa akan memperoleh berbagai ungkapan yang erat kaitannya dengan kesan pribadi yang menyenangkan serta berbagai ungkapan yang kreatif, inovatif, terampil, memiliki kebugaran jasmani, kebiasaan hidup sehat dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap gerak manusia.
Dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai ketrampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan dan olabraga, serta pembiasaan pola hidup sehat. Pelaksanaannya bukan melalui pengajaran konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan unsur fisik, mental, intelektual, emosi dan sosial. Aktivitas yang diberikan dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik-metodik, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran.
Tidak ada pendidikan yang tidak mempunyai sasaran paedagogis, dan tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa adanya Pendidikan Jasmani, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alamiah berkembang searah dengan perkembangan zaman. (Balitbang Depdiknas, 2003:5).



2.3          Hakikat Pendidikan Jasmani dan Perkembangan Menyeluruh
Para guru mungkin sering menemukan atau mendengar pengertian pendidikan jasmani dari berbagai sumber. Beberapa pengertian pendidikan jasmani yang diperoleh tersebut disusun dalam redaksi yang beragam. Apabila kita cermati lebih jauh, maka keragaman tersebut pada umumnya sama seperti pandangan terhadap hakikat dan pengertian pendidikan sebelumnya. (http://www.geocities.com/nana_suhana2002/kur_adaptif/olahraga.pdf)
a.       Pandangan Tradisional
Pandangan pertama, atau juga sering disebut pandangan tradisional, menganggap bahwa manusia itu terdiri dari dua komponen utama yang dapat dipilah-pilah, yaitu jasmani dan rohani (dikhotomi). Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Dengan kata lain pendidikan jasmani hanya sebagai pelengkap saja.
Di Amerika Serikat, pandangan dikhotomi ini muncul pada akhir abad 19 atau antara tahun 1885 - 1900. Pada saat itu, pendidikan jasmani dipengaruhi oleh sistem Eropa, seperti: Sistem Jerman dan Sistem Swedia, yang lebih menekankan pada perkembangan aspek fisik (fitness), kehalusan gerak, dan karakter siswa, dengan gimnastik sebagai medianya. Pada saat itu, pendidikan jasmani lebih berperan sebagai “medicine” (obat) daripada sebagai pendidikan. Oleh karena itu, para pengajar pendidikan jasmani lebih banyak dibekali latar belakang akademis kedokteran dasar (medicine).
Pandangan pendidikan jasmani berdasarkan pandangan dikhotomi manusia ini secara empirik menimbulkan salah kaprah dalam merumuskan tujuan, program pelaksanaan, dan penilaian pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan jasmani ini cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan, memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Selain dari itu, sering juga pelaksanaan pendidikan jasmani ini justru mengabaikan kepentingan jasmani itu sendiri, hingga akhirnya mendorong timbulnya pandangan modern.
b.      Pandangan Modern
Pandangan modern, atau sering juga disebut pandangan holistik, menganggap bahwa manusia bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu. Oleh karena itu pendidikan  jasmani tidak hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen saja.
Di Amerika Serikat, pandangan holistik ini awalnya dipelopori oleh Wood dan selanjutnya oleh Hetherington pada tahun 1910. Pada saat itu pendidikan jasmani dipengaruhi oleh “progressive education”. Doktrin utama dari progressive education ini menyatakan bahwa semua pendidikan harus memberi kontribusi terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan pendidikan jasmani mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut. Pada  periode ini pendidikan jasmani diartikan sebagai pendidikan melalui aktivitas jasmani (education through physical). Pandangan holistik ini, pada awalnya kurang banyak memasukkan aktivitas sport karena pengaruh pandangan sebelumnya, yaitu pada akhir abad 19, yang menganggap sport tidak sesuai di sekolah-sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri sport terus tumbuh dan berkembang menjadi aktivitas fisik yang merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Sport menjadi populer, siswa menyenanginya, dan ingin mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah hingga para pendidik seolah-olah ditekan untuk menerima sport dalam kurikulum di sekolah-sekolah karena mengandung nilai-nilai pendidikan. Hingga akhirnya pendidikan jasmani juga berubah, yang tadinya lebih menekankan pada gimnastik dan fitness menjadi lebih merata pada seluruh aktivitas fisik termasuk olahraga, bermain, rekreasi atau aktifitas lain dalam lingkup aktivitas fisik.
Di Indonesia, salah satu contoh definisi pendidikan jasmani yang didasarkan pada pandangan holistik ini dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan Jasmani (sekarang sudah dibubarkan) yang dirumuskan tahun 1960, sebagai berikut, “Pendidikan  jasmani adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas manusia berupa sikap, tindak, dan karya yang diberi bentuk, isi, dan arah menuju  kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita kemanusiaan”.
Definisi yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer (1992:32) sebagai berikut, “pendidikan jasmani merupakan bagian dari program pendidikan  umum yang memberi kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan gerak dan pendidikan melalui gerak, dan harus  dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan definisi tersebut”.
Definisi pendidikan jasmani dari pandangan holistik ini cukup banyak mendapat dukungan dari para ahli pendidikan jasmani lainnya. Misalnya, Siedentop (1990:26), mengemukakan, “pendidikan jasmani modern yang lebih menekankan pada pendidikan melalui aktivitas jasmani didasarkan pada anggapan bahwa jiwa dan  raga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pandangan ini  memandang kehidupan sebagai totalitas”.
Wall dan Murray (1994:42), mengemukakan hal serupa dari sudut pandang yang lebih spesifik, “masa anak-anak adalah masa yang sangat kompleks, dimana pikiran,  perasaan, dan tindakannya selalu berubah-ubah. Oleh karena sifat anak-anak yang  selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan berkembang, maka perubahan satu  elemen sering kali mempengaruhi perubahan pada eleman lainnya. Oleh karena  itulah, adalah anak secara keseluruhan yang harus kita didik, tidak hanya mendidik  jasmani atau tubuhnya saja.”
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai perkembangan individu secara menyeluruh. Demikian perolehan keterampilan dan perkembangan lain yang bersifat jasmaniah.  Melalui pendidikan jasmani, siswa disosialisasikan ke dalam aktivitas jasmani termasuk keterampilan berolahraga. itu tidaklah mengherankan apabila banyak yang meyakini dan mengatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan menyeluruh, dan sekaligus memiliki potensi yang strategis untuk mendidik.


2.4          Tujuan dan Fungsi Pendidikan Jasmani
2.4.1        Tujuan Pendidikan Jasmani
1.      Meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan jasmani
2.      Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial dan toleransi dalam konteks kemajemukan budaya, etnis dan agama.
3.      Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui tugas-tugas pembelajaran Pendidikan Jasmani.
4.      Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani.
5.      Mengembangkan keterampilan gerak dan keterampilan teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (outdoor education).
6.      Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani.
7.      Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain.
8.      Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola hidup sehat.
9.      Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif.
2.4.2        Fungsi Pendidikan Jasmani
1.      Aspek organik
a.       Menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik sehingga individu dapat memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta memiliki landasan untuk pengembangan keterampilan.
b.      Meningkatkan kekuatan yaitu jumlah tenaga maksimum yang dikeluarkan oleh otot atau kelompok otot.
c.       Meningkatkan daya tahan yaitu kemampuan otot atau kelompok otot untuk menahan kerja dalam waktu yang lama.
d.      Meningkatkan daya tahan kardiovaskuler, kapasitas individu untuk melakukan aktivitas yang berat secara terus menerus dalam waktu relatif lama.
e.       Meningkatkan fleksibelitas, yaitu rentang gerak dalam persendian yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan mengurangi cidera.
2.      Aspek neuromuskuler
a.        Meningkatkan keharmonisan antara fungsi saraf dan otot
b.        Mengembangkan keterampilan lokomotor, seperti; berjalan, berlari, melompat, meloncat, meluncur, melangkah, mendorong, menderap/ mencongklang, bergulir, dan menarik.
c.        Mengembangkan keterampilan non-lokomotor, seperti mengayun, melengok, meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, menggantung, membongkok.
d.       Mengembangkan keterampilan dasar manipulatif, seperti; memukul, menendang, menangkap, berhenti, melempar, mengubah arah, memantulkan, bergulir, memvoli.
e.        Mengembangkan faktor-faktor gerak, seperti; ketepatan, irama, rasa gerak, power, waktu reaksi, kelincahan.
f.         Mengembangkan keterampilan olahraga, seperti; sepak bola, soft ball, bola voli, bola basket, base ball, atletik, tennis, beladiri dan lain sebagainya.
g.        Mengembangkan keterampilan rekreasi, seperti, menjelajah, mendaki, berkemah, berenang dan lainnya.
3.      Aspek perseptual
a.        Mengembangkan kemampuan menerima dan membedakan isyarat.
b.        Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan tempat atau ruang, yaitu kemampuan mengenali objek yang berada di: depan, belakang, bawah, sebelah kanan atau sebelah kiri dan dirinya.
c.        Mengembangkan koordinasi gerak visual, yaitu; kemampuan mengkoordinasikan pandangan dengan keterampilan gerak yang melibatkan tangan, tubuh, dan atau kaki.
d.       Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis, dinamis), yaitu; kemampuan mempertahankan keseimbangan statis dan dinamis.
e.        Mengembangkan dominansi (dominancy), yaitu; konsistensi dalam menggunakan tangan atau kaki kanan/ kiri dalam melempar atau menendang.
f.         Mengembangkan lateralitas (laterality), yaitu; kemampuan membedakan antara sisi kanan atau sisi kiri tubuh dan diantara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri.
g.        Mengembangkan image tubuh (body image), yaitu kesadaran bagian tubuh atau seluruh tubuh dan hubungannya dengan tempat atau ruang.
4.      Aspek kognitif
a.        Mengembangkan kemampuan menggali, menemukan sesuatu, memahami, memperoleh pengetahuan dan membuat keputusan.
b.        Meningkatkan pengetahuan peraturan permainan, keselamatan, dan etika.
c.        Mengembangkan kemampuan penggunaan srategi dan teknik yang terlibat dalam aktivitas yang terorganisir.
d.       Meningkatkan pengetahuan bagaimana fungsi tubuh dan hubungannya dengan aktivitas jasmani.
e.        Menghargai kinerja tubuh; penggunaan pertimbangan yang berhubungan dengan jarak, waktu, tempat, bentuk, kecepatan, dan arah yang digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas dan dirinya.
f.         Meningkatkan pemahaman tentang memecahkan masalah perkembangan melalui gerakan.
5.      Aspek sosial
a.        Menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan dimana berada.
b.        Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam situasi kelompok.
c.        Belajar berkomunikasi dengan orang lain.
d.       Mengembangkan kemampuan bertukar pikiran dan mengevaluasi ide dalam kelompok.
e.        Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat.
f.         Mengembangkan rasa memiliki dan rasa diterima di masyarakat.
g.        Mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang positif.
h.        Belajar menggunakan waktu luang yang konstruktif.
i.          Mengembangkan sikap yang mencerminkan karakter moral yang baik. (Balitbang Depdiknas, 2003:7).
6.      Aspek emosional
a.        Mengembangkan respon yang sehat terhadap aktivitas jasmani.
b.        Mengembangkan reaksi yang positif sebagai penonton.
c.        Melepas ketegangan melalui aktivitas fisik yang tepat.
d.       Memberikan saluran untuk mengekspresikan diri dan kreativitas.
e.        Menghargai pengalaman estetika dan berbagai aktivitas yang relevan.        
2.5          Pengertian Inteligensi dan Kecerdasan
Banyak definisi tentang inteligensi telah dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah:
a.       Bimo Walgito mengatakan (Muhammad Ali, 2005:27) istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatakan satu sama lain.
b.      Menurut W. Stern dalam Ahmadi (2004:33) “inteligensi adalah sumber daya jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat di dalam situasi baru”.
c.       Menurut Vaan Hoes dalam Abu Ahmadi (2004:34) “inteligensi merupakan kecerdasan jiwa”.
d.      Linda Campbel, Bruce Campbell dan Dee Dickinson dalam Anonim (myschoolnet) (2006) merumuskan definisi kecerdasan menurut Howard Gardner sebagai:
1.      Kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sebenarnya;
2.      Kemampuan mencari masalah baru untuk diselesaikan; dan
3.      Kemampuan membuat sesuatu atau menawarkan sesuatu yang bernilai dalam lingkungan sesuatu budaya.
e.       Leis Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan belajar secara abstrak (Muhammad Ali, 2005:27).
f.       Jean Piaget menyatakan bahwa inteligensi yaitu seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru. (Muhammad Ali, 2005:27).
g.      Bischof mengemukakan bahwa inteligensi ialah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah (Dalyono, 2005:184).
h.      Heidentich mengemukakan bahwa inteligensi adalah menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalah-masalah.
            Apabila kita amati definisi yang disajikan diatas meskipun rumusannya berbeda-beda, namun mengandung isi dan pengertian yang sama dalam arti tidak bertentangan. Dalam dua definisi terakhir tersirat bahwa inteligensi merupakan kemampuan “problem solving” dalam segala situasi yang baru atau yang mengandung masalah.
            “Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat.” (Segal, 1997:33 dalam Semiawan, 2004:16). “Seorang siswa harus dapat mengenali kemampuan dirinya yang meliputi bakat, kepandaian, dan keterampilan. Pengenalan kemampuan ini dapat diketahui melalui tes IQ atau tes-tes kemampuan lain” (Nafisah, 2001:18). “Masyarakat sering kali menilai IQ (intelligence quotient) disamakan dengan inteligensi atau kecakapan. Padahal, IQ hanya mengukur sebagian kecil dan kecakapan” (Gsianturi, 2005:20). Eileen menjelaskan dalam Gsianturi (2005:21): “IQ merupakan angka yang dipakai untuk menggambarkan kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan rata-rata orang lain. Pada umumnya IQ rata-rata orang diberi angka 100”.
Secara lebih lengkap menurut Ahmadi (2004: 81):
Anak dengan IQ-nya yang tinggi dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Anak yang normal (90 – 110) dapat menamatkan SD tepat pada waktunya. Mereka yang memiliki IQ 110 – 140  dapat digolongkan cerdas, 140 ke atas tergolong genius. Golongan ini mempunyai potensi untuk dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Jadi semakin tinggi IQ seseorang akan cemakin cerdas pula. Mereka yang mempunyai 1Q kurang dari 90 tergolong lemah mental (mentally deffective). Anak inilah yang mengalami kesulitan belajar. Mereka ini digolongkan atas golongan debil, embisil dan idiot.
Golongan debil walaupun umurnya telah 25 tahun, kecerdasan mereka setingkat dengan anak normal umur 12 tahun.
Golongan embisil hanya mampu mencapai tingkat anak normal umur 7 tahun.
Golongan idiot kecakapannya menyamai anak normal umur 3 tahun. Anak yang lergolong lemah mental ini sangat terbatas kecakapannya.

            Betapa sederhananya cara para ahli mengungkapkan kecerdasan, yaitu hanya dengan angka yang disebut IQ. Angka tersebut diperoleh dari tes tertulis yang intinya hanya kemampuan baca-tulis saja. Bagaimana dengan mereka yang aktif dan berprestasi dengan seni, olah raga, kepemimpinan organisasi. Apakah mereka tidak cerdas? Padahal betapa pentingnya IQ dalam kehidupan ini, sehingga menentukan harga diri bahkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu, Semiawan (2004:17) mengemukakan pendapat lain:
Berbagai penelitian kemudian membuktikan bahwa kemampuan rasional tersebut biasa diukur dengan IQ (intelligence quetient). Meskipun kini terbukti bahwa orang memiliki lebih dari satu inteligensi menurut teori Gardner ada 9 (teori multiple intelligence), ukuran yang disebut IQ mengukur kemampuan umum yang bersifat tunggal masih sering dipakai untuk menandai kemampuan intelektual dan prestasi belajar. Ternyata bahwa otak tersebut masih menyimpan berbagai kemungkinan lain.

            Lebih lanjut Goleman dalam Semiawan (2004:18) menyatakan bahwa: “selain rational mind, seorang memiliki emotional lain yang masing-masing diukur oleh IQ dan EQ dan bersumber masing-masing dan head dan heart.  Kedua kehidupan mental tersebut, meskipun berfungsi dengan cara-cananya sendiri, bekerjasama secara sinergis dan harmonis”. Bahkan Herman Hesse (2005:21) menambahkan satu macam kecerdasan lagi, yaitu kecerdasan spiritual: “Patut diingat sukses bukanlah karir dan finansial semata, tetapi juga termasuk keluarga yang harmonis, persahabatan, kesehatan tubuh, tingkat kecerdasan inteligensi, emosional maupun kecerdasan spiritual”.
            Selanjutnya Gardner dalam Hemowo (2006:34) mengemukakan:
Dari penelitian telah ditemukan adanya sembilan kecerdasan yang tersimpan di dalam otak manusia. Sembilan kecerdasan tersebut adalah cerdas logika/ matematika (logic smart), cerdas kata (word smart), cerdas musik (music smart), cerdas tubuh (body smart), cerdas gambar (picture smart), cerdas bergaul (people smart), cerdas diri (self smart), cerdas alam (nature smart), dan cerdas makna (existence smart).

            Ternyata kecerdasan yang oleh banyak orang sering digambarkan dengan IQ, terutama banyak diributkan oleh orang-orang yang baru lulus sekolah atau kuliah, dan ingin melanjutkan atau melamar kerja. Akan tetapi seiring dengan berjalannya sang waktu, ilmupun berkembang oleh berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, diketemukan bermacam-macam kecerdasan yang mengacu pada berbagai bidang keahlian.

2.6          Teori-teori Tentang Inteligensi
Untuk lebih memperjelas pengertian inteligensi, berikut ini dikemukakan beberapa teori tentang inteligensi. (Dalyono, 2005:185).
a.       Teori “Uni-Factor
Pada tahun 1911, Wilhelm Stern memperkenalkan suatu teori tentang inteligensi yang disebut “uni-factor theory”. Teori ini dikenal pula sebagai teori kapasitas umum. Menurut teori ini, inteligensi merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Karena itu, cara kerja inteligensi juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau memecahkan sesuatu masalah adalah bersifat umum pula. Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologis ataupun akibat belajar. Kapasitas umum (general capacity) yang ditimbulkan itu lazim dikemukakan dengan kode “G”.
b.      Teori “Two-Factors”
Pada tahun 1904 yaitu sebelum Stern, seorang ahli matematika bernama Charles Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori Spearman itu terkenal dengan sebutan “Two Kinds of Factors Theory.”
Spearman mengembangkan teori inteligensi berdasarkan suatu faktor mental umum yang diberi kode “g” serta faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “s”. Faktor “g” mewakili kekuatan mental umum yang berfungsi dalam setiap tingkah laku mental individu, sedangkan faktor-faktor “s” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan.
Orang yang inteligensinya mempunyai faktor “g” luas, memiliki kapasitas untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia dapat mempelajari bermacam-macam pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, sejarah, dan sebagainya dengan menggunakan berbagai simbol abstrak. Orang yang memiliki faktor “g” sedang atau rata-rata ia mempunyai kemampuan sedang untuk mempelajari bidang-bidang studi. Luasnya faktor “g” ditentukan oleh kerjanya otak secara unit atau keseluruhan. Faktor “s” didasarkan pada gagasan, bahwa fungsi otak tergantung kepada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau masalah tertentu yang khusus. Dengan demikian, luasnya faktor “s” mencerminkan kerja khusus dan otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor “s” lebih tergantung kepada organisasi neurologis yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan khusus.
c.       Teori “Multi-Factors
Teori mteligensi multi faktor dikembangkan oleh E.L Thorndike. Teori ini tidak berhubungan dengan konsep general ability atau faktor “g”. Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respon. Hubungan-hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan tingkah laku individu. Ketika seseorang dapat menyebutkan sebuah kata, menghafal sajak, menjumlahkan bilangan, atau melakukan pekerjaan itu berarti bahwa ia dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi di dalam sistem saraf akibat belajar atau latihan. Manusia diperkirakan memiliki 13 miliar urat saraf sehingga memungkinkan adanya hubungan neural yang banyak sekali. Jadi, inteligensi menurut teori ini adalah jumlah koneksi aktual dan potensial di dalam sistem saraf.
d.      Teori “Primary-Mental-Abilities”
L.L Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang organisasi inteligensi yang abstrak, ia dengan menggunakan tes-tes mental serta teknik-teknik statistik khusus membagi inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
(1) Kemampuan numerical/ matematis.
(2) Kemampuan verbal, atau berbahasa.
(3) Kemampuan abstraksi berupa visualisasi atau berpikir.
(4) Kemampuan membuat keputusan, baik induktif maupun deduktif.
(5) Kemampuan mengenal atau mengamati.
(6) Kemampuan mengingat.         
Menurut teori “Primary-Mental-Abilities” ini, inteligensi merupakan penjelmaan dari ke tujuh kemampuan pribadi di atas. Masing-masing dari ke tujuh kemampuan primer itu adalah independen serta menjadikan fungsi-fungsi pikiran yang berbeda atau berdiri sendiri. Para ahli lain menyoroti teori ini sebagai teori yang mengandung kelemahan menganggap adanya pemisahan fungsi atau kemampuan pada mental individu. Menurut mereka, setiap kemampuan individu adalah saling berhubungan secara integratif.
e.       Teori “Sampling”
Untuk menjelaskan tentang inteligensi, Godfrey H. Thomson pada tahun 1916 mengajukan sebuah teorinya yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian disempurnakan lagi pada tahun 1935 dan 1948. Menurut teori ini, inteligensi merupakan berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang pengalaman. Berbagai bidang pengalaman itu terkuasai oleh pikiran manusia tetapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya terkuasai sebagian-sebagian saja dan ini mencerminkan kemampuan mental manusia. Inteligensi beroperasi dengan terbatas pada sampel dan berbagai kemampuan atau pengalaman dunia nyata. Sebagai gambaran misalnya saja dunia nyata terdapat kemampuan atau bidang – bidang pengalaman A, B, C. Inteligensi bergerak dengan sampel, misalnya sebagian A dan sebagian B; atau dapat pula sebagian dan bidang-bidang A, B dan C.

2.7          Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inteligensi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain ialah:
a.       Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar dan ada yang bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
b.      Kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tak dapat memecahkan soal-soal tertentu, karena soal-soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan umur.
c.       Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
d.      Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar, motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motive). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. Apa yang mereka minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
e.       Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi. (Dalyono, 2005:189).
Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan tinggi inteligensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut di atas. Inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang.
Pokok perdebatan masa kini beralih pada faktor manakah yang lebih menentukan perbedaan inteligensi antara individu yang satu dengan yang lain, apakah faktor genetis ataukah lingkungan. Ada banyak bukti penelitian yang menyatakan bahwa inteligensi seseorang merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dengan faktor lingkungan (Hardy dan Heyes, 1988:69; Azwar, 2002:76). Evolusi inteligensi tidak seperti yang dikemukakan di dalam asosianisme dari Taine dan Ribot yaitu kontinu tetapi berirama. Pada suatu saat inteligensi akan kembali pada tingkat tertentu, bergelombang, berinterferensi, dan mempunyai rentang waktu (Piaget,1969:215).

2.8          Pengukuran Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911. (www.balitacerdas.com).
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. (www.balitacerdas.com).
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. (www.balitacerdas.com).
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

2.9          Tahapan Perkembangan Intelek/ Kognitif
            Jean Piaget (Ali, 2005:27) membagi perkembangan intelek/ kognitif ke menjadi empat tahapan sebagai berikut :
a.       Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini, anak berada dalam masa pertumbuhan yang ditandai oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris yang jelas. Segala perbuatan merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori-motoris tersebut.
Pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dan lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak mengembangkan kemampuannya untuk mempercepat melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-lahan belajar mengkoordinasikan tindakan-tindakannya.
b.      Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi, sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderunganyang ditandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh pemikiran, tetapi oleh unsur perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang yang bermakna dan lingkungan sekitarnya.
Pada tahap ini, anak sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak cenderung sulit untuk dapat memahami pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan pandangannya sendiri. Dalam berinteksi dengan lingkungannya, ia masih sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan, karena masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran atau peristiwa dalam setiap situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga pada intuisi. Anak mampu menyimpan kata-kata serta menggunakannya terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka. Pada masa ini, anak siap untuk belajar bahasa, membaca dan menyanyi. Ketika kita menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara pada anak, akan mempunyai akibat sangat baik pada perkembangan bahasa mereka. Cara belajar yang memegang peran pada tahap ini ialah intuisi. Intuisi membebaskan mereka dari berbicara semaunya tanpa menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering kita lohat anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada di sekitarnya, misalnya pohon, kucing dan sebagainya, yang menurut mereka benda-benda tersebut dapat mendengar dan berbicara. Peristiwa semacam ini baik untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget menyebut tahap ini sebagai collective monologue, pembicara yang egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain.
c.       Tahap Operasional Konkret
Tahap ini mulai berlangsung antara usia 7 – 11 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini menurut Piaget, interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya, sudah semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah makin berkurang. Anak sudah dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.
Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka sudah menguji coba suatu permasalahan. Cara anak yang bersifat konkret menyebabkan mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang suatu yang konkret. Disini sering terjadi kesulitan antara orang tua dan guru. Misalnya, orang tua ingin menolong anak mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi memakai cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh guru sehingga anak tidak setuju. Sementara seringkali anak lebih percaya terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya ketimbang orang tuanya. Akibatnya, kedua cara tersebut baik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya sama-sama tidak dimengerti oleh anak.
d.      Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini, anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
Pada tahap ini, interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi seperti  ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya dengan orang tua. Namun, sebenarnya secara diam-diam mereka juga masih mengharapkan perlindungan dari orang tua karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi pada tahap ini, ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin dilindungi.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi perkembangan kognitifnya. Misalnya, menulis puisi, lomba karya ilmiah, lomba menulis cerpen dan sebagainya.

2.10      Inteligensi Pria dan Wanita
Banyak orang yang sudah meyakini, bahwa antara pria dan wanita tidak terdapat perbedaan dalam hal inteligensi. Banyak pula penelitian yang membuktikan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara inteligensi pria dengan inteligensi wanita. Dari tes-tes yang pernah diberikan, wanita terutama berkelebihan dalam hal mengerjakan tes-tes yang menyangkut penggunaan bahasa, hafalan-hafalan, reaksi-reaksi estetika serta masalah-masalah sosial. Di lain pihak, laki-laki berkelebihan dalam penalaran abstrak, penguasaan matematika, mekanika atau structural skills. Kalaupun ada perbedaan mengenai hal-hal tersebut, apakah itu disebabkan karena faktor lingkungan? Sebelum menjawab “ya” sebaiknya kita renungkan terlebih dulu serta menjelaskan, mengapa bayi-bayi perempuan dan bayi-bayi laki-laki itu sudah menunjukkan perbedaan dalam hal minat-minat dan reaksi-reaksi mereka terhadap lingkungannyal atau mengapa perbedaan kelamin pada hewan-hewan yang lebih rendah tingkat inteligensinya berhubungan dengan perbedaan kelakuan mereka.
Secara herediter kita hanya dapat menduga, barangkali perbedaan minat dan kelakuan antara laki-laki dan wanita disebabkan karena perbedaan sifat”genes” atau kromosom. Secara tidak langsung, perbedaan itu tidak barangkali disebabkan oleh adanya mekanisme interaksi kromosom-kromosom xy yang mengakibatkan bentuk tubuh, bekerjanya kelenjar dan zat-zat biochemical.
Selama antara pria dan wanita terdapat perbedaan fisis dan psikis, latihan, pengalaman, pola hidup, kebutuhan dan minatnya, maka kita hanya akan mendapati kenyataan bahwa tes-tes inteligensi tidak akan mengukur secara akurat tentang perbandingan antara kapasitas mental wanita dengan kapasitas mental pria. Dengan demikian, kita masih mengalami kesulitan untuk mengatakan, bahwa wanita lebih superior daripada pria dalam hal inteligensi.

2.11      Pewarisan Inteligensi
Pewarisan inteligensi secara tegas belum dapat dijelaskan oleh karena:
a.       Dengan adanya berbagai definisi dan teori tentang inteligensi, maka hingga pada saat ini  belum memperoleh pengertian yang standar/ baku tentang inteligensi itu.
b.      Sampai saat ini, kita belum memiliki alat ukur yang cermat untuk mengetahui IQ seseorang. Tes untuk mengukur inteligensi akademik dan tes untuk mengukur inteligensi praktis seharusnya menggunakan alat ukur yang berbeda, tetapi hingga saat ini tes atau alat ukur yang digunakan untuk kedua macam inteligensi itu sama. Masih diragukan, bahwa tinggi atau rendahnya IQ belum menentukan kapasitas mental seseorang.
Para psikolog seperti Thurstone lebih percaya kepada penentuan “mental endowment” (penentuan kapasitas mental yang hanya bersifat sebagai halnya hadiah) daripada skor IQ.
E.L. Thurndike berpendapat, bahwa kemampuan mental yang berbeda pada masing-masing individu adalah tidak disebabkan oleh perbedaan bagian-bagian otak, melainkan oleh perbedaan operasi (hooks up) antara sel-sel saraf otak, alat-alat indera serta bagian-bagian lain dan sistem saraf. Perihal inteligensi baru akan dapat dijelaskan dengan tegas, apabila telah berhasil merumuskan secara definisi mengenai elemen-elemen inteligensi yang berbeda serta telah mempelajari manifestasinya didalam masing-masing individu serta keluarga-keluarga mereka, menurut segala kondisi lingkungannya, maka baru akan dapat menjelaskan secara tegas mengenai pewarisan inteligensi sebagai keseluruhan maupun cara-cara yang khusus.

2.12      Hubungan Antara Pendidikan Jasmani dengan Inteligensi
Memang sudah banyak penelitian yang menunjukkan, bahwa pendidikan dapat meningkatkan skor-skor inteligensi, termasuk pendidikan jasmani, namun apakah inteligensi itu sendiri memang meningkat ataukah tidak, hal ini masih menjadi pertanyaan.
Menurut para psikolog dari Universitas Lowa, inteligensi pada anak-anak yang masih muda mengalami peningkatan secara material apabila mereka sebelumnya telah memiliki pengalaman belajar yang menstimulasi aktivitas-aktivitas berlatih seperti yang diberikan dalam pendidikan kanak-kanak. Terhadap penelitian ini ada beberapa psikolog yang mengkritik dan beranggapan bahwa penelitian ini mengandung kelemahan-kelemahan teknis, karena pemberian tes-tes inteligensi “before and after” bagi anak-anak tingkat pendidikan taman kanak-kanak dirasa kurang reliabel.
Sehubungan dengan penelitian para psikolog Lowa tersebut,  Nancey Bayley mengemukakan pendapat bahwa IQ anak-anak yang masih terlalu muda mengalami perubahan “turun naik” (tidak tetap). Ia berpendapat, bahwa kapasitas mental anak yang masih terlalu muda tidak berkembang dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan perkembangan mental anak-anak sebaya lainnya, meskipun mereka mempunyai kekuatan-kekuatan intelektual yang sama. Ini dapat berarti bahwa, dalam tahap perkembangan tertentu seorang anak dapat memiliki IQ yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Prof.Irving Lorge (1945:32) dari Universitas Colombia menunjukkan, bahwa IQ seseorang berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula skor IQ-nya, namun demikian, Lorge sendiri masih meragukan, apakah peningkatan skor IQ itu benar-benar disebabkan karena tingkat pendidikan seseorang, sebab masih banyak faktor yang masih perlu diperhitungkan seperti lingkungan keluarga, Iingkungan sosial, ‘drive”, minat belajar, kepribadian, prosedur pemberian tes-tes “beforeafter”, semuanya dapat mempengaruhi skor-skor prestasi pendidikan seseorang.
Sedemikian jauh belum terdapat bukti yang menguatkan bahwa latihan atau faktor lingkungan lainnya dapat menambah ataupun mengurangi skor IQ. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam lingkungan yang sama dengan latihan yang sama dan seringkali dengan latar belakang yang sama pula, anak-anak dapat memiliki perbedaan dalam hal IQ. (Dalyono, 2005:192).

2.13      Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah kesimpulan, tetapi kesimpulan ini belum final. masih harus dibuktikan kebenarannya, (Surakhman. 1978:68).
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah pendidikan jasmani besar pengaruhnya terhadap IQ siswa di SMA Negeri X.

2.14      Definisi Operasional
Pendidikan Jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional (Balitbang Depdiknas. 2003:5).
Eileen menjelaskan dalam Gsianturi (2005:21), IQ merupakan angka yang dipakai untuk menggambarkan kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan rata-rata orang lain. Pada umumnya IQ rata-rata orang diberi angka 100”.
Besar kecilnya pengaruh pendidikan jasmani terhadap IQ dilihat dari perhitungan statistik. Dikatakan besar pengaruhnya apabila hasil perhitungan statistik tersehut mencapai 0,8. (Arikunto. 2006:276).

 BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Metode dan Rancangan 
3.1.1        Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah ditetapkan melalui prosedur ilmiah yang sudah ditentukan. Penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian deskriptif, yaitu untuk mengevaluasi dari variabel sesuai yang dikemukakan Nazir (1983 : 63).
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi yang tertentu termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dan dari fenomena-fenomena tertentu.
                                     
3.1.2        Rancangan Penelitian
Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis dan faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat sebab hubungan yang diselidiki. Bentuk dari penelitian ini adalah mengevaluasi sumbangan pendidikan jasmani terhadap IQ siswa di SMA Negeri X. Penelitian ini adalah dengan melakukan tes IQ dan dikorelasikan dengan nilai dari mata pelajaran pendidikan jasmani.

3.2    Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan responden yang dijadikan objek dalam penelitian, adapun yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 2 SMA Negeri X yang berjumlah 192 orang. Sedangkan pengambilan sampel penulis lakukan secara acak dari keseluruhan populasi mengingat populasi terlalu besar maka penulisannya mengambil sebagiannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1987:82) yang menyatakan: “apabila populasi lebih dari 100 orang maka dapat diambil keseluruhannya, dan penelitian itu menjadi penelitian populasi, sedangkan jika populasi lebih dari 100 orang maka dapat diambil 10-15%, 20-25% atau 50%”. Sampel dalam penelitian ini yaitu beberapa siswa yang dipilh secara acak mewakili dari masing–masing lokal di kelas 2, yaitu berjumlah 20 orang.

3.3    Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan bagi penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik tes pengukuran terhadap seluruh sampel dengan cara melaksanakan tes IQ dan mengumpulkan nilai mata pelajaran pendidikan jasmani.

3.4    Teknik Analisis Data
Berdasarkan uraian di atas, untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian IQ diolah dengan menggunakan rumus statistik yaitu menghitung rata-rata. Adapun rumus yang untuk menghitung rata-rata adalah rumus yang dikemukakan oleh Sudjana (1989:67) sebagai berikut :
Keterangan :    M     = Rata-rata yang dicari
                        ∑ x   = Jumlah score x
                        N     = Jumlah sampel
            Selanjutnya untuk mencari persentase dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Hadi (1989:229) yaitu :
Keterangan :    P      = Persentase yang dihitung
                        F      = Frekuensi
                        N     = Jumlah sampel
Selanjutnya untuk menganalisis tes IQ penulis menggunakan total skor dari semua nilai yang dijawab oleh responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (angket berupa soal-soal psikotest).
Setelah data-data yang diperlukan dalam penelitian terkumpul, maka penulis juga menggunakan model korelasi dengan rumus:
Keterangan :
N           =  Angka indeks korelasi produk momen
rxy              =  Jumlah kasus
xy       =  Sejumlah hasil perkalian antara variabel x dan y
x         =  Jumlah seluruh skor x
y         =  Jumlah seluruh skor y


3.5    Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri X pada bulan Desember 2008.

3.6    Alat dan Perlengkapan Penelitian
            Alat dan perlengkapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.       Stop watch
b.      Alat tulis
Anda mau kelanjutannya hubungi kami di HP. 085318480701 atau email yuswardist@yahoo.com

0 komentar:

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net